Mohon tunggu...
IMAM MUDIN
IMAM MUDIN Mohon Tunggu... Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon (UINSSC)

Ciptakan Karya Manfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menguji UU NO.20/2003 DI Sekolah Negeri: Studi Kasus SMP 1 Luragung

18 Juni 2025   11:41 Diperbarui: 18 Juni 2025   11:41 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menghadapi tantangan kompleks dalam praktik lapangan, khususnya terkait pemenuhan hak pendidikan agama bagi siswa minoritas (Undang-Undang RI, 2003). SMP Negeri 1 Luragung Kabupaten Kuningan menyajikan kasus menarik bagaimana kebijakan pendidikan nasional bersinggungan dengan realitas keberagaman di tingkat sekolah. Dari total 974 siswa di sekolah yang dipimpin Dadang Sutisna, M.Pd ini, hanya terdapat satu siswa non-Muslim bernama Marcell Kristian. Kondisi ini menimbulkan dilema implementasi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas yang menjamin hak setiap peserta didik untuk "mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama."

Observasi terhadap praktik pendidikan di SMP Negeri 1 Luragung menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi dan implementasi. Ketika jam pelajaran Pendidikan Agama Islam berlangsung yang diampu oleh Sartani, M.Pd.I, Marcell Kristian diberikan kebebasan untuk tidak mengikuti pembelajaran. Kondisi ini terjadi karena sekolah tidak memiliki guru agama Kristen yang seharusnya melayani kebutuhan pendidikan agamanya. Permasalahan ini bukan hanya menyangkut aspek teknis ketersediaan guru, namun menyentuh substansi hak konstitusional siswa. Pasal 5 ayat (1) UU No. 20/2003 dengan tegas menyatakan bahwa "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Praktik pembebasan Marcell dari jam pelajaran agama dapat dinilai sebagai bentuk tidak terpenuhinya hak tersebut.

Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan secara "demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia." Kondisi di SMP Negeri 1 Luragung menunju kkan adanya praktik yang berpotensi diskriminatif, meskipun tidak disengaja. Pihak sekolah telah berupaya mencari solusi dengan menjalin kerja sama dengan SMP Yos Sudarso Cigugur Kuningan, sebuah sekolah Kristen, untuk memberikan penilaian mata pelajaran agama Kristen kepada Marcell. Namun, pendekatan ini hanya menyelesaikan aspek administratif berupa pemberian nilai tanpa memenuhi hak substantif berupa proses pembelajaran yang utuh.

Pasal 37 ayat (1) UU Sisdiknas menegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama. Implementasi pasal ini di SMP Negeri 1 Luragung menunjukkan ketidakseimbangan antara pemenuhan kewajiban kurikulum dengan jaminan hak individual siswa minoritas. Fenomena serupa juga ditemukan dalam penelitian (Suwendi, 2006) yang mengidentifikasi problematika implementasi UU Sisdiknas dalam konteks pendidikan keagamaan. Ketidakjelasan regulasi dan lemahnya komitmen implementasi menjadi faktor penghambat utama dalam pemenuhan hak pendidikan yang berkeadilan.

Pasal 11 ayat (1) UU No. 20/2003 menetapkan bahwa "pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi." Dalam konteks kasus di SMP Negeri 1 Luragung, Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan belum sepenuhnya memenuhi amanat pasal tersebut. Alasan "tidak ekonomis" untuk menyediakan guru agama Kristen bagi satu siswa menunjukkan pendekatan yang lebih mengutamakan efisiensi daripada pemenuhan hak. Padahal, pendidikan merupakan hak dasar yang tidak dapat dikalkulasi secara ekonomis semata (Sujatmoko, 2020).

Konsep knowledge integration yang dikemukakan (Suwendi et al., 2024)  menawarkan pendekatan alternatif melalui integrasi pengetahuan dengan basis dialogis dan keterbukaan. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk mengelola keberagaman dalam pendidikan agama di sekolah negeri. Kondisi Marcell yang harus "diasingkan" saat jam pelajaran agama berlangsung berpotensi menimbulkan dampak psikologis berupa perasaan teralienasi dan berbeda dari teman-temannya. Pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai proses yang memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi diri secara optimal, termasuk aspek spiritual keagamaan.

Ketiadaan layanan pendidikan agama yang sesuai keyakinan Marcell dapat menghambat pengembangan potensi spiritualnya sebagaimana diamanatkan undang-undang. Hal ini juga bertentangan dengan semangat pendidikan karakter yang menjadi salah satu fokus utama sistem pendidikan nasional. Berdasarkan analisis terhadap praktik pendidikan di SMP Negeri 1 Luragung, diperlukan beberapa langkah strategis untuk memperbaiki implementasi UU No. 20/2003. Pertama, Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan perlu mengembangkan kebijakan guru agama keliling yang dapat melayani siswa minoritas di beberapa sekolah secara bergantian (Undang-Undang RI, 2003) .

Kedua, pemanfaatan teknologi informasi untuk pembelajaran agama minoritas melalui sistem daring yang terintegrasi. Ketiga, pembentukan konsorsium sekolah negeri untuk sharing resources guru agama sesuai kebutuhan. Keempat, alokasi anggaran khusus untuk layanan pendidikan minoritas sebagai implementasi Pasal 49 yang mengamanatkan dana pendidikan minimal 20% dari APBD. Kelima, perlunya revisi peraturan pelaksanaan UU Sisdiknas yang lebih sensitif terhadap kondisi siswa minoritas di daerah dengan komposisi demografis yang homogen. Keenam, penguatan peran komite sekolah dalam mengawal pemenuhan hak pendidikan seluruh siswa tanpa diskriminasi.

Kasus di SMP Negeri 1 Luragung merefleksikan tantangan implementasi UU No. 20/2003 dalam konteks keberagaman. Meskipun secara kuantitatif hanya melibatkan satu siswa dari 974 total siswa, namun hal ini menyangkut prinsip fundamental keadilan pendidikan yang tidak dapat diabaikan. Komitmen terhadap pendidikan inklusif harus diwujudkan dalam kebijakan operasional yang konkret, bukan sekadar retorika. Pemenuhan hak pendidikan agama bagi siswa minoritas merupakan parameter penting dalam menguji efektivitas implementasi sistem pendidikan nasional.

Ke depan, diperlukan political will yang kuat dari seluruh stakeholder pendidikan untuk memastikan tidak ada siswa yang terabaikan haknya. Pendidikan yang berkeadilan bukan hanya mengakomodasi mayoritas, tetapi juga melindungi dan melayani minoritas dengan standar yang sama. Transformasi implementasi UU Sisdiknas dari pendekatan formalitas menuju substansi menjadi kunci untuk mewujudkan pendidikan nasional yang benar-benar inklusif dan bermartabat. Hanya dengan demikian, generasi Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang menghargai keberagaman sebagai kekayaan, bukan sebagai beban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun