Dinamika perkembangan zaman yang ditandai dengan akselerasi globalisasi dan revolusi teknologi informasi telah menghadirkan kompleksitas tersendiri dalam ranah dunia pendidikan. Kompleksitas tersebut terutama berkaitan dengan upaya pembentukan karakter peserta didik yang memiliki integritas kebangsaan, sikap toleran, serta kemampuan adaptasi dalam kehidupan yang beragam. Fenomena yang menjadi perhatian serius adalah penetrasi ideologi ekstremisme dan sikap intoleransi yang secara gradual memasuki domain pendidikan, baik melalui manifestasi yang terbuka maupun tersembunyi. Menghadapi realitas tersebut, konseptualisasi moderasi keagamaan hadir sebagai solusi komprehensif dan fundamental dalam memproteksi generasi muda dari infiltrasi pemikiran keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip humanitas dan nasionalisme. Esensi moderasi keagamaan tidak dapat dipahami semata sebagai retorika atau gerakan normatif yang bersifat superfisial, melainkan merupakan kerangka epistimologis yang mencakup dimensi kognitif, afektif, dan perilaku dalam mengaktualisasikan ajaran agama. Paradigma ini menekankan pada implementasi prinsip-prinsip keadilan distributif, keseimbangan holistik, apresiasi terhadap pluralitas, serta dedikasi terhadap nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks pendidikan, moderasi keagamaan harus menjadi fondasi utama yang mengintegrasikan seluruh komponen proses pembelajaran, mulai dari desain kurikulum, metodologi pembelajaran, dinamika interaksi sosial, hingga sistem evaluasi pendidikan. Pendidikan yang menginkorporasikan nilai-nilai moderasi secara komprehensif akan menghasilkan peserta didik yang tidak hanya memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, tetapi juga kematangan spiritual dan sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Suwendi dalam "Transforming Religious Moderation in the Education World" mengidentifikasi urgensi transformasi moderasi keagamaan di sektor pendidikan sebagai upaya sistematis untuk menciptakan sinergi antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan (Suwendi et al., 2024). Hasil penelitian menunjukkan bahwa munculnya polarisasi antara kepentingan agama dan negara dalam ruang pendidikan dipicu oleh interpretasi keagamaan yang bersifat eksklusif, klaim monopoli kebenaran dalam pemaknaan ajaran agama, serta orientasi religiusitas yang tidak harmonis dengan semangat nasionalisme. Berdasarkan temuan tersebut, Suwendi merekomendasikan bahwa transformasi pendidikan harus direalisasikan melalui internalisasi nilai-nilai moderasi ke dalam sistem pendidikan formal, baik melalui implementasi pendidikan multikultural, penguatan literasi keagamaan, maupun pengembangan kompetensi pendidik yang berorientasi pada toleransi dan inklusivitas. Dimensi fundamental yang diartikulasikan oleh Suwendi adalah pentingnya membangun kesadaran kolektif tentang keberagaman sebagai karakteristik intrinsik bangsa Indonesia. Pendidikan harus berfungsi sebagai media utama dalam menginternalisasi dualitas karakter Indonesia: pluralitas sebagai realitas keberagaman dan religiositas sebagai manifestasi kesalehan. Kedua karakteristik ini, apabila tidak dikelola secara proporsional, berpotensi menjadi sumber konflik horizontal yang mengancam kohesi sosial dan integritas bangsa. Dalam perspektif inilah, moderasi keagamaan berfungsi sebagai mekanisme pengelolaan keberagaman yang mencegah masyarakat dari ekstremitas radikalisme agama maupun sekularisme yang berlebihan.
Dalam pendekatan yang lebih aplikatif dan kontekstual, artikel "Strengthening Religious Moderation as Effort to Prevent Extremism in Education Institution" yang ditulis oleh Suwendi bersama tim peneliti lainnya, memfokuskan pada aspek implementatif penguatan moderasi keagamaan dalam institusi Pendidikan (Suwendi et al., 2023). Melalui metodologi studi literatur dan analisis konten, penelitian ini mendemonstrasikan bahwa institusi pendidikan merupakan arena strategis untuk mencegah proses radikalisasi ideologi. Penanaman nilai-nilai moderasi sejak usia dini melalui mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, serta praktik kehidupan beragama yang inklusif di lingkungan sekolah diyakini mampu membentuk generasi yang memiliki daya kritis terhadap ideologi intoleran dan radikal. Lebih lanjut, penelitian tersebut mengidentifikasi beberapa strategi implementatif dalam memperkuat moderasi keagamaan di lingkungan pendidikan. Strategi pertama adalah integrasi kurikulum yang mengintegrasikan materi tentang toleransi, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap diversitas. Strategi kedua meliputi pengembangan kapasitas intensif bagi guru dan tenaga kependidikan untuk memahami serta mentransmisikan nilai-nilai moderasi secara kontekstual dan holistik. Strategi ketiga adalah kreasi atmosfer sekolah yang kondusif terhadap keberagaman, baik dalam bentuk dialog lintas agama, peringatan hari besar keagamaan yang melibatkan berbagai keyakinan, maupun praktik kolaboratif antar siswa dari latar belakang agama yang berbeda.
Signifikansi pendekatan yang menyentuh seluruh dimensi pendidikan menegaskan bahwa moderasi keagamaan bukan hanya konsep yang relevan dalam domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Peserta didik tidak cukup memiliki pengetahuan tentang pentingnya toleransi, tetapi juga harus mampu mengimplementasikan sikap tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai ruang transfer pengetahuan, melainkan juga wahana pembentukan karakter dan kepribadian. Transformasi nilai-nilai moderasi dalam pendidikan memerlukan partisipasi aktif seluruh stakeholder: pemerintah, pendidik, orang tua, dan masyarakat. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa regulasi pendidikan mendukung pengarusutamaan nilai-nilai moderasi. Pendidik sebagai agen utama di ruang kelas harus dibekali dengan pemahaman komprehensif tentang pluralisme dan pendekatan pedagogis yang mampu menanamkan nilai-nilai tersebut. Orang tua perlu menciptakan lingkungan keluarga yang terbuka, toleran, dan terbebas dari doktrin ekstrem. Sementara itu, masyarakat sebagai ruang interaksi sosial harus membangun atmosfer yang mendukung narasi keagamaan yang damai, moderat, dan inklusif.
Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia pendidik, kedua artikel tersebut sama-sama menekankan bahwa guru harus memiliki wawasan yang komprehensif, empati yang tinggi, dan kemampuan pedagogis untuk membangun pemahaman agama yang moderat. Guru tidak hanya bertugas mentransmisikan doktrin, tetapi juga menjadi model dalam bersikap adil, menghargai perbedaan, dan membangun komunikasi lintas iman. Kompetensi ini penting untuk menangkal narasi-narasi keagamaan yang eksklusif dan intoleran yang kerap menargetkan generasi muda melalui media sosial atau kelompok keagamaan tertutup. Pendidikan yang berorientasi pada moderasi keagamaan juga harus menghindari pendekatan homogenisasi atau pemaksaan nilai tertentu secara monolitik. Sebaliknya, pendidikan harus mengapresiasi keberagaman sebagai aset budaya dan spiritual. Di sinilah relevansi pendekatan pendidikan multikultural yang tidak hanya mengakui perbedaan, tetapi juga menjadikan perbedaan tersebut sebagai sumber pembelajaran dan inspirasi untuk membangun solidaritas.
Tantangan implementasi moderasi keagamaan di lapangan tentu memiliki kompleksitas tersendiri. Masih terdapat resistensi di kalangan pendidik, peserta didik, maupun masyarakat terhadap nilai-nilai toleransi yang dianggap mengaburkan identitas keagamaan. Namun resistensi ini dapat diminimalisir melalui pendekatan yang humanis, partisipatif, dan berbasis pada nilai-nilai luhur keagamaan itu sendiri. Dalam seluruh agama besar, prinsip kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama manusia merupakan nilai universal yang menjadi landasan moderasi. Peran teknologi informasi juga tidak dapat diabaikan dalam transformasi pendidikan moderat. Di era digital, pendidikan tidak lagi terbatas di ruang kelas, tetapi meluas ke ruang-ruang virtual tempat generasi muda memperoleh informasi dan membentuk perspektif. Oleh karena itu, penguatan moderasi keagamaan juga harus dilakukan di ranah digital melalui produksi konten yang edukatif, kampanye media sosial, serta keterlibatan influencer dan tokoh agama yang berpandangan moderat. Pendidikan digital yang mempromosikan nilai-nilai moderasi akan menjadi counterbalance terhadap narasi ekstrem yang masif di dunia maya.
Integrasi nilai-nilai moderasi keagamaan dalam pendidikan pada akhirnya akan menghasilkan generasi yang resiliensi secara intelektual dan emosional. Generasi ini tidak hanya memahami agamanya secara mendalam, tetapi juga mampu menghargai keyakinan orang lain. Mereka tidak mudah terprovokasi oleh ujaran kebencian, tidak cepat terjebak dalam dikotomi hitam-putih, dan memiliki daya kritis terhadap informasi keagamaan yang menyesatkan. Inilah generasi yang dibutuhkan untuk menjaga integritas bangsa dan membangun masa depan yang damai. Pendidikan berbasis moderasi juga relevan dalam konteks global, di mana intoleransi agama dan konflik identitas menjadi isu yang mengemuka di banyak negara. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan keragaman etnis dan agama yang tinggi, memiliki potensi besar untuk menjadi model dunia dalam membangun harmoni sosial melalui pendidikan. Moderasi keagamaan yang terinstitusionalisasi dalam sistem pendidikan akan memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional sebagai bangsa yang damai, toleran, dan beradab. Kesimpulannya, moderasi keagamaan bukanlah opsi, melainkan kebutuhan imperatif dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan yang berorientasi pada moderasi akan menjadi benteng yang kokoh bagi generasi muda dalam menghadapi berbagai bentuk ekstremisme, intoleransi, dan radikalisme. Melalui integrasi nilai-nilai moderasi ke dalam seluruh aspek pendidikan, kita dapat menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, dan inklusif. Pendidikan seperti inilah yang akan mewariskan kepada generasi mendatang sebuah bangsa yang kokoh dalam perbedaan, bersatu dalam keberagaman, dan tangguh menghadapi tantangan zaman.
Referensi
Suwendi, Nanik Shobikah, Muhammad Faisal, & Imron Muttaqin. (2023). Strengthening Religious Moderation As Effort To Prevent Extremism In Education Institution. Journal of Namibian Studies: History Politics Culture, 34, 3810--3824. https://doi.org/10.59670/jns.v34i.1934
Suwendi, S., Mesraini, M., & Fuady, F. (2024). Transforming Religious Moderation in the Education World. https://doi.org/10.4108/eai.17-6-2024.2349071