Mohon tunggu...
Imam Mashudi Latif
Imam Mashudi Latif Mohon Tunggu... Universitas Darul 'Ulum Jombang

Menyukai bacaan-bacaan ringan untuk dikembangkan sebagai ide tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerhana Bulan: Antara Cahaya Ilahi dan Jagad Jiwa

8 September 2025   04:00 Diperbarui: 8 September 2025   03:52 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerhana bulan (IKA FUSH-FAI UNDAR Jombang)

Langit malam yang biasanya tenang dan dihiasi kerlip bintang-bintang, kini menyimpan misteri. Perlahan, bayangan kehitaman mulai merayap memudarkan pendaran bulan purnama. Cahayanya yang tadinya agung, kini redup, seolah ditelan kegelapan. Sebagai fenomena alam yang memukau, gerhana bulan bukan sekadar peristiwa astronomi. Bagi umat manusia di Nusantara, khususnya dalam tradisi Islam dan kebudayaan Jawa, gerhana adalah cerminan dari alam semesta yang lebih dalam.

Bagi umat Islam, gerhana bulan (khusuf al-qamar) bukanlah pertanda buruk atau kejadian mistis yang menakutkan. Sebaliknya, ini adalah salah satu dari sekian banyak tanda keagungan dan kekuasaan Allah Swt. Bulan, yang diciptakan untuk menjadi penerang di malam hari, kini menunjukkan kerapuhannya, seolah mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu di alam semesta berada dalam kendali penuh Sang Pencipta.

Ketika bayangan bumi mulai menutupi bulan, umat Muslim diperintahkan untuk tidak panik atau takut. Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa gerhana terjadi bukan karena kematian atau kelahiran seseorang, melainkan sebagai tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Karena itu, dianjurkan untuk segera melaksanakan shalat gerhana (shalat khusuf). Shalat ini dilakukan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah. Tujuannya adalah untuk memohon ampunan, berzikir, bersedekah, dan memohon perlindungan dari siksa.

Shalat gerhana menjadi wujud nyata dari penghambaan diri kepada Allah. Gerakan dalam shalat ini adalah simbol dari pengakuan manusia atas kebesaran Tuhan. Ketika bulan kembali memancarkan cahayanya, itu adalah pertanda bahwa kuasa Allah telah menghapus bayangan, mengingatkan bahwa setelah kegelapan akan selalu ada cahaya. Gerhana, dalam pandangan Islam, adalah momen refleksi spiritual, sebuah jeda dari kesibukan duniawi untuk kembali mendekatkan diri kepada-Nya.

Selain shalat gerhana, umat Islam juga dianjurkan memperbanyak doa dan sedekah. Doa akan mempererat hubungan manusia dengan Allah. Sedangkan sedekah bisa menghindarkan manusia dari bencana. Sedekah juga mempererat hubungan di antara sesama manusia.

Adapun tradisi Jawa memandang gerhana bulan melalui kacamata kosmologi dan kepercayaan yang lebih tua. Masyarakat Jawa mengenalnya sebagai fenomena "bulan dimakan", dan sering dikaitkan dengan sosok raksasa bernama Batara Kala. Dalam mitologi Jawa, Batara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa). Ia adalah sosok yang rakus, yang dikutuk untuk selalu lapar dan haus.

Dalam kepercayaan Jawa, gerhana bulan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan pertanda hilangnya harmoni alam. Untuk "menyelamatkan" bulan dari Batara Kala, masyarakat Jawa memiliki ritual unik. Mereka akan menabuh lesung, kentongan, atau alat musik tradisional lainnya dengan keras. Suara-suara ini dipercaya akan membuat Batara Kala kaget dan memuntahkan kembali bulan yang telah ia telan. Bunyi-bunyian ini adalah simbol dari perlawanan kolektif manusia untuk menjaga keseimbangan alam semesta.

Selain itu, gerhana juga seringkali dikaitkan dengan pantangan-pantangan tertentu, terutama bagi wanita hamil. Ada keyakinan bahwa jika wanita hamil melihat gerhana, bayinya akan lahir dengan cacat. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk bersembunyi di dalam rumah, memakai pakaian serba hitam, dan bahkan meletakkan gunting di bawah bantal sebagai jimat perlindungan.

Harmonisasi dalam Perbedaan

Meskipun memiliki narasi yang berbeda, baik ajaran Islam maupun budaya Jawa melihat gerhana sebagai peristiwa yang tidak boleh dianggap remeh. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya tindakan responsif dari manusia. Dalam Islam, responsnya adalah dengan beribadah dan introspeksi. Sedangkan dalam budaya Jawa, responsnya adalah dengan menjaga harmoni kosmis dan melakukan ritual penyelamatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun