Mengelola Luka Disleksia : Perjalanan Panjang Menuju Penerimaan Diri
Â
"Aku membenci semua pelajaran di sekolah."
Aku masih ingat, setiap kali diminta membaca nyaring di depan kelas, tubuhku gemetar seakan dicemplungkan ke kolam es. Suaraku bergetar, peluh membasahi telapak tangan, dan huruf-huruf di buku tampak seperti menari-nari mengejekku. Aku salah membaca, salah mengeja, dan saat pelajaran matematika, aku acapkali salah menjawab karena angka-angka saling tertukar, atau bahkan hilang begitu saja dari ingatanku.
Sekolah adalah mimpi buruk. Bahkan hingga kini, trauma itu belum sepenuhnya pergi.
Saat lulus SMA, rasanya seperti berhasil mendaki Gunung Everest. Aku pikir semua beban disleksia akan selesai setelah itu. Nyatanya, disleksia tak mengenal batas usia. Ia hadir dalam banyak sisi kehidupan dewasa: saat berkomunikasi, saat mengingat jalan, saat memilih pekerjaan, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Ini bukan sekadar tantangan akademik. Ini luka psikologis yang tertanam dalam.
Psikolog pendidikan Susan Hampshire menyebut istilah "Dyslexia Grief" sebagai kesedihan yang timbul akibat pengalaman buruk masa lalu karena ketidaktahuan lingkungan terhadap kondisi ini. Luka ini datang dari ejekan, penilaian yang tidak adil, hingga cap "bodoh" atau "malas" dari guru dan teman sebaya. Luka ini tidak berdarah, namun membekas dalam dan sering kali terbawa hingga dewasa.
Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022, diperkirakan 1 dari 10 anak mengalami gangguan belajar spesifik seperti disleksia, namun sebagian besar belum terdeteksi. Akibatnya, banyak dari mereka tumbuh dewasa membawa trauma dan luka batin yang tak terselesaikan.
Tantangan Nyata yang Dihadapi Orang Dewasa dengan Disleksia
Beberapa tantangan umum namun jarang dibicarakan: