Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengelola Luka Disleksia, Perjalanan Panjang Menuju Penerimaan Diri

2 Agustus 2025   09:02 Diperbarui: 3 Agustus 2025   10:06 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengelola Luka Disleksia : Perjalanan Panjang Menuju Penerimaan Diri

 

"Aku membenci semua pelajaran di sekolah."

Aku masih ingat, setiap kali diminta membaca nyaring di depan kelas, tubuhku gemetar seakan dicemplungkan ke kolam es. Suaraku bergetar, peluh membasahi telapak tangan, dan huruf-huruf di buku tampak seperti menari-nari mengejekku. Aku salah membaca, salah mengeja, dan saat pelajaran matematika, aku acapkali salah menjawab karena angka-angka saling tertukar, atau bahkan hilang begitu saja dari ingatanku.

Sekolah adalah mimpi buruk. Bahkan hingga kini, trauma itu belum sepenuhnya pergi.

Saat lulus SMA, rasanya seperti berhasil mendaki Gunung Everest. Aku pikir semua beban disleksia akan selesai setelah itu. Nyatanya, disleksia tak mengenal batas usia. Ia hadir dalam banyak sisi kehidupan dewasa: saat berkomunikasi, saat mengingat jalan, saat memilih pekerjaan, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Ini bukan sekadar tantangan akademik. Ini luka psikologis yang tertanam dalam.

Psikolog pendidikan Susan Hampshire menyebut istilah "Dyslexia Grief" sebagai kesedihan yang timbul akibat pengalaman buruk masa lalu karena ketidaktahuan lingkungan terhadap kondisi ini. Luka ini datang dari ejekan, penilaian yang tidak adil, hingga cap "bodoh" atau "malas" dari guru dan teman sebaya. Luka ini tidak berdarah, namun membekas dalam dan sering kali terbawa hingga dewasa.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022, diperkirakan 1 dari 10 anak mengalami gangguan belajar spesifik seperti disleksia, namun sebagian besar belum terdeteksi. Akibatnya, banyak dari mereka tumbuh dewasa membawa trauma dan luka batin yang tak terselesaikan.

Tantangan Nyata yang Dihadapi Orang Dewasa dengan Disleksia

Beberapa tantangan umum namun jarang dibicarakan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun