Murid Tiri: Rapor Merah, Mata Bapak Biru
Di sebuah desa kecil di pelosok Indonesia, seorang anak kelas 4 SD pulang membawa rapor berwarna merah menyala. Bukan karena sampulnya, tapi karena deretan angka di bawah standar pada hampir semua mata pelajaran. Belum sempat meletakkan tas, suara sabetan ikat pinggang terdengar di ruang tengah. Jeritan kecil pecah, disusul dengan isak yang ditahan. Di sore itu, bukan hanya rapor yang merah. Mata sang ayah pun biru.
Di negeri ini, masih banyak anak yang menjadi korban dari sistem pendidikan yang gagal memahami bahwa tak semua anak lahir untuk mengejar nilai.
Setiap tahun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis data hasil belajar siswa dari Asesmen Nasional. Hasilnya sering membuat kita prihatin. Menurut laporan Asesmen Nasional 2023, lebih dari 30% siswa SD mengalami kesulitan memahami teks bacaan sederhana dan konsep matematika dasar. Di wilayah tertinggal, angka ini bahkan bisa lebih tinggi.
Sayangnya, yang disalahkan bukan sistem yang kaku atau guru yang kurang dilatih. Tapi anak-anak itu. Anak-anak yang mungkin memiliki dyslexia, ADHD, hambatan emosional, atau bahkan trauma domestik. Mereka disebut "bodoh", "malas", "tidak bisa diatur". Di sekolah mereka tak dipahami, di rumah malah dihukum. Mereka menjadi murid tiri ada, tapi seperti tidak benar-benar hadir di ruang pendidikan.
Psikolog pendidikan Dr. Howard Gardner memperkenalkan teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk). Menurutnya, kecerdasan tidak hanya soal logika dan bahasa, tapi juga musikal, spasial, interpersonal, kinestetik, dan lainnya. Namun sistem pendidikan kita masih mengukur anak dengan dua parameter: bisa matematika dan bisa baca tulis.
Dr. Thomas Armstrong, penulis Neurodiversity in the Classroom, menekankan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus bukanlah masalah yang harus "diperbaiki," tapi individu yang perlu ruang dan metode belajar berbeda.
Namun, berapa banyak guru yang mendapat pelatihan tentang ini? Berdasarkan data UNICEF Indonesia 2021, hanya 15% guru yang mengaku pernah mendapat pelatihan tentang anak berkebutuhan khusus, padahal jumlah ABK di sekolah umum semakin meningkat setiap tahun.
Fenomena ini bukan cerita baru. Anak-anak dengan rapor merah tak hanya harus menanggung malu di depan teman, tapi juga menghadapi kekerasan fisik dan psikis di rumah. Seorang guru di daerah Bekasi pernah berkata dalam sebuah pelatihan, "Pak, saya tahu murid saya itu nggak bodoh. Tapi sistem menuntut nilai. Kalau saya kasih nilai rendah, saya yang dimarahi kepala sekolah."
Akhirnya, banyak guru memalsukan nilai untuk 'menyelamatkan diri'. Tapi siapa yang menyelamatkan si anak?