Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Murid Tiri : Surat dari Meja Guru

5 Juli 2025   09:52 Diperbarui: 4 Juli 2025   09:50 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid Tiri, Surat dari Meja Guru

Aku menulis surat ini dari sebuah meja kayu tua, tempat aku menghabiskan sebagian besar waktuku sebagai guru. Meja yang setiap hari dipenuhi kertas ulangan, daftar nilai, RPP, dan catatan kecil tentang anak-anak di kelas. Tapi hari ini, izinkan aku menulis sesuatu yang tak masuk dalam silabus. Tentang anak-anak yang tak pernah benar-benar tercatat dalam lembar penilaian: anak-anak yang menjadi "murid tiri" di ruang kelas kita sendiri.

Mereka duduk di bangku paling belakang, atau justru di depan karena dianggap perlu "pengawasan khusus." Mereka anak-anak yang tak pernah dipanggil untuk lomba cerdas cermat, tak dimasukkan ke tim pramuka, atau bahkan tak disebut namanya dalam rapat evaluasi karena dianggap "biasa-biasa saja."

Tapi sebetulnya, mereka bukan biasa. Mereka luar biasa karena mereka bertahan di ruang belajar yang tak pernah disiapkan untuk mereka. Saya berbicara tentang anak-anak dengan disleksia yang terus-menerus mendapat nilai merah karena kesalahan ejaan. Anak-anak dengan ADHD yang tak bisa diam, lalu diberi cap "pengganggu." Anak-anak dengan spektrum autisme yang tak pernah dipahami maksud bicaranya, lalu dianggap "tidak sopan." Anak-anak dengan gangguan kecemasan yang selalu gemetar saat dipanggil maju, lalu dianggap "tidak percaya diri."

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, diperkirakan terdapat lebih dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia. Namun, hanya 18% dari mereka yang terlayani di sekolah inklusif. Sisanya? Tercecer di sekolah-sekolah umum tanpa dukungan, atau malah tak bersekolah sama sekali. Laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menunjukkan bahwa hanya 1 dari 5 guru di Indonesia yang pernah mendapatkan pelatihan pendidikan inklusif. Artinya, sebagian besar guru menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus tanpa pengetahuan dasar tentang siapa mereka dan bagaimana mendampingi mereka.

Inilah realitas kita. Di negeri yang katanya menjunjung "pendidikan untuk semua," masih banyak anak-anak yang tak mendapat tempat di ruang kelas bukan karena mereka tak ingin belajar, tapi karena kita belum menyediakan kursi yang sesuai untuk mereka. Sebagai guru, sering kali saya berada di tengah dilema. Di satu sisi, hati saya terpanggil untuk mendampingi setiap anak sesuai keunikan dan kebutuhannya. Tapi di sisi lain, sistem menuntut: nilai harus selesai minggu ini, asesmen harus dikumpulkan, kelas harus bergerak seragam.

Di sinilah peran guru sering terhenti bukan karena tidak peduli, tetapi karena dipaksa untuk menormalkan yang tidak normal. Sistem mendorong kita untuk memperlakukan semua anak secara "sama," padahal yang dibutuhkan adalah keadilan, bukan keseragaman.

Padahal para ahli sudah lama menyuarakan bahwa anak tidak belajar dengan cara yang sama.
Howard Gardner, dalam teori Multiple Intelligences-nya (1983), menekankan bahwa kecerdasan manusia itu beragam ada yang cerdas secara logis, ada yang cerdas secara musikal, kinestetik, interpersonal, dan lainnya. Tapi nilai rapor kita hanya mencatat satu-dua jenis kecerdasan: logika dan bahasa.

Lev Vygotsky, seorang psikolog pendidikan dari Rusia, berbicara tentang Zone of Proximal Development ruang antara kemampuan aktual anak dan potensi maksimalnya yang bisa diraih dengan bantuan. Tapi bantuan itu hanya mungkin kalau kita tahu siapa anak itu. Bukan hanya sebagai nomor induk siswa, tapi sebagai manusia utuh dengan riwayat, tantangan, dan impiannya.

Saya menulis ini untuk sesama guru agar kita tidak lupa bahwa profesi kita bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi menjaga martabat anak-anak yang kita ajar. Jangan biarkan sistem membunuh empati kita. Dan untuk para orangtua yang anaknya pernah disebut "lambat," "tidak mampu," atau bahkan disarankan untuk pindah sekolah saya ingin mengatakan: bukan anak Anda yang salah. Yang salah adalah sistem yang belum siap menerima keunikan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun