Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Murid Tiri : Sebelum Aku Menjadi Statistik

3 Juli 2025   09:53 Diperbarui: 3 Juli 2025   09:53 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid Tiri : Sebelum Aku Menjadi Statistik

Cerita  Bu Sari, Ibu dari Anak dengan Disabilitas yang Saya Temui di Perjalanan "Disleksia Keliling Nusantara"

Saya bertemu Bu Sari di sebuah ruangan sederhana yang dijadikan kelas inklusi darurat. Dindingnya tak lagi putih bersih, hanya dipoles seadanya. Tapi hari itu, tempat itu menjadi ruang paling hangat yang pernah saya kunjungi. Di sinilah, Bu Sari memeluk kisah panjang tentang anaknya tentang luka, harapan, dan perjuangan yang tak pernah masuk ke dalam program prioritas negara.

"Anak saya bukan data, Mas. Dia nyata, dia hidup, dia berhak belajar," katanya saat kami duduk berdampingan.

Anaknya, Dafa, didiagnosa mengalami disabilitas intelektual ringan. Bukan gangguan yang langka, tapi tetap saja langka diperhatikan. Dafa sempat didaftarkan ke beberapa SD negeri, namun selalu kandas di gerbang pertama. Alasannya beragam : guru belum siap, kelas terlalu penuh, belum ada "fasilitas", atau dalih paling menyakitkan: "Anak ini akan ganggu ritme belajar."

Kementerian Pendidikan mencatat memang sudah ada 40.164 sekolah yang menampung murid berkebutuhan khusus per Desember2023. Tetapi hanya 5.956 (14,83%) di antaranya yang punya guru pembimbing khusus, sementara kajian Bank Dunia menegaskan kurang dari 13% sekolah inklusi memiliki pendidik yang terlatih. 

Bagi Bu Sari, bukan hanya penolakan yang menyakitkan, tapi juga biaya yang mengiris pelan-pelan. Ia sempat mendaftarkan Dafa ke lembaga pendidikan inklusif swasta. Di sana, ia harus membayar iuran lebih tinggi dibanding orang tua murid reguler. Bukan cuma biaya sekolah, tapi juga "tambahan biaya kebutuhan khusus" yang tak pernah dijelaskan secara rinci. Jurnal Kebijakan Kemendikbud (2019)  menghitung kebutuhan riil orang tua ABK transportasi, terapi, shadow teacher, seragam mencapai Rp16,6juta per tahun di SD, belum kebutuhan lainnya.

"Satu bulan saya bayar hampir satu juta. Gajiku cuma 1,5 juta, Mas. Tapi gurunya bahkan tak tahu cara mendampingi Dafa. Ia duduk sendiri di kelas, tak diajak diskusi, kadang malah disuruh menggambar saja dari pagi sampai jam pulang," cerita Bu Sari, matanya berkaca-kaca.

Saya tahu, ini bukan kasus tunggal. Dalam perjalanan Disleksia Keliling Nusantara, saya mencatat hal serupa di banyak kota. Orang tua ABK membayar lebih jauh lebih untuk layanan yang seringkali tak lebih baik. Mereka membeli kursi kosong dalam sistem yang belum siap menerima mereka.

Di satu sekolah di Jawa Barat, misalnya, saya menemukan anak dengan autisme ringan yang dipungut biaya bulanan dua kali lipat siswa reguler. Namun selama satu semester, tidak ada satu pun asesmen individu atau program pembelajaran yang disesuaikan. Di sebuah SD inklusi di Jawa Timur, seorang ibu mengaku harus membayar guru pendamping sendiri karena sekolah "tidak memiliki SDM khusus". Banyak orang tua seperti Bu Sari tidak tahu harus mengadu ke mana, karena belum ada mekanisme pengaduan yang berpihak dan aktif menampung keluhan orang tua ABK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun