Melalui proyek Dyslexia Keliling Nusantara yang saya mulai sejak 2017, saya telah bertemu dengan ratusan anak dan guru di berbagai pelosok negeri.
Anak-anak yang belajar dengan keringat dan air mata.
Guru-guru luar biasa yang bekerja dalam diam, tanpa sorotan kamera atau gelar seminar.
Tapi saya juga bertemu dengan mereka yang berkata:
"Ngurus satu ABK doang? Buang waktu. Kita harus kejar target sekolah."
Dan inilah pertanyaan besar kita bersama:
Sejak kapan satu anak tak lagi dianggap penting?
Sejak kapan suara seorang anak tak lagi cukup keras untuk menggerakkan hati seorang guru?
Kita boleh punya kurikulum secanggih apapun.
Kita bisa terinspirasi dari Finlandia, Korea Selatan, atau Singapura.
Tapi selama kita masih memilih-milih siapa yang layak diperhatikan kita masih gagal sebagai pendidik.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun.
Saya hanya ingin mengingatkan:
ABK bukan murid tiri.
Mereka adalah murid-murid kita juga.
Mereka adalah cermin: apakah kita benar-benar mengajar dengan hati, atau hanya menjalankan sistem?
Dan jika sistem membuat kita lupa akan satu anak saja maka mungkin, sistem itu perlu kita lawan.
Bukan dengan marah, tapi dengan keberanian untuk peduli.
Karena satu anak pun berhak untuk tidak merasa sendirian di ruang kelasnya.
Jika tulisan ini menggugahmu, mari kita teruskan perjuangan ini.
Bukan untuk saya.
Tapi untuk semua anak yang selama ini tak pernah disebut dalam rapat guru karena mereka dianggap terlalu sulit, terlalu lambat, atau terlalu berbeda.
Mereka bukan murid tiri.
Mereka anak-anak yang menunggu dipeluk oleh pendidikan yang benar-benar inklusif.
"Jangan ukur masa depan anak dari apa yang mereka belum bisa hari ini. Ukurlah hati kita apakah kita cukup berani untuk tidak meninggalkan mereka sendirian di sistem yang terlalu sibuk untuk peduli." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI