Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Murid Tiri Negara : Surat dari Pojok Kelas

30 Juni 2025   09:51 Diperbarui: 30 Juni 2025   09:51 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid Tiri : Surat dari Pojok Kelas
Sebait Rindu dari Anak yang Tak Pernah Dipanggil

Ibu, aku belajar. Serius.
Tapi aku tidak bisa membaca seperti mereka.
Aku berusaha keras, tapi guruku bilang aku lamban.
Aku tidak bodoh, Bu. Aku hanya butuh waktu.
Tolong bilang ke mereka, aku juga ingin dipanggil maju, sekali saja.

Saya ingin memulai dengan sebuah surat yang mungkin tak pernah benar-benar ditulis oleh tangan kecil itu, tapi saya yakin ia ditulis di hatinya setiap hari.

Saya membacanya... dan saya menangis.

Bukan hanya karena saya guru anak berkebutuhan khusus. Tapi karena saya pernah jadi anak itu. Anak yang duduk di pojok kelas, diam, bingung, menahan malu. Anak yang setiap harinya merasa seperti tamu di ruang belajar sendiri. Anak yang tidak dipanggil bukan karena tidak bisa... tetapi karena tidak dianggap mampu.

Saya adalah anak dengan disleksia dan ADHD. Dan saya juga adalah guru untuk anak-anak seperti saya---sudah lebih dari 15 tahun.

Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya menjadi "murid tiri" di kelas sendiri?
Bukan karena berbeda agama, ras, atau status sosial... tapi karena berbeda cara belajar?

Di pojok kelas itu, anak-anak kita sedang berjuang dalam diam.
Mereka tidak bicara banyak, bukan karena mereka tidak tahu. Tapi karena mereka terlalu sering ditertawakan saat mencoba menjawab.
Mereka tidak membaca cepat, bukan karena malas. Tapi karena huruf-huruf seperti menari di kepala mereka, bercanda dengan makna, bersembunyi dari logika.

Tapi tetap... mereka belajar. Sungguh.
Dengan air mata. Dengan rasa malu. Dengan doa yang pendek:
"Tolong, hari ini jangan suruh aku membaca di depan kelas."

Dari tahun 2017, saya keliling Nusantara lewat proyek kecil yang saya beri nama "Dislexia Keliling Nusantara."
Saya masuk ke ruang-ruang kelas yang terlalu padat, terlalu bising, terlalu sempit untuk perbedaan.
Saya melihat anak-anak yang "gagal" di mata guru mereka... justru bersinar ketika diberi pendekatan yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun