Saya masih ingat seorang guru di desa kecil di Sulawesi berkata kepada saya dengan mata berkaca, “Saya ingin membantu anak ini, tapi saya tidak tahu caranya.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi sangat jujur. Guru kita tidak jahat, mereka hanya tidak dibekali.
Orang tua juga tidak kurang sabar. Tapi mereka dibiarkan berjalan sendiri. Mereka memindahkan anak dari sekolah ke sekolah, berharap ada yang menerima. Namun mereka justru menerima penolakan yang dibungkus kata-kata halus: "Maaf Bu, mungkin lebih cocok homeschooling."
Apakah negara tidak malu? Ketika warganya harus berjuang sendiri untuk hak dasar yang seharusnya dijamin.
Kita butuh sistem pendidikan yang bukan hanya menerima, tapi juga memahami dan memberdayakan anak-anak dengan cara belajar yang unik. Guru harus dibekali bukan hanya untuk menyampaikan materi, tapi untuk mengenali otak yang bekerja dengan cara berbeda.
Sekolah harus berhenti mengejar akreditasi dan nilai semata. Ruang belajar harus menjadi tempat aman dan ramah tumbuh. Negara tak cukup hanya membuat aturan. Negara harus hadir di ruang kelas, di pelatihan guru, di ruang curhat orang tua, dan di setiap langkah pertumbuhan anak-anak ini.
Karena pendidikan bukan soal siapa yang lebih cepat sampai garis akhir. Pendidikan adalah soal siapa yang tidak kita tinggalkan di tengah jalan.
“Anak-anak tak gagal karena mereka berbeda. Mereka gagal karena kita memaksa mereka menjadi sama. Yang lebih menyakitkan dari tidak bisa membaca, adalah ketika keberadaanmu tak pernah dianggap layak untuk dibaca.” Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI