Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aku Tidak Sempurna, Tapi Aku Tidak Akan Diam : Perjalanan Adaptif Guru Disleksia

24 Juni 2025   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2025   11:09 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku Tidak Sempurna, Tapi Aku Tidak Akan Diam: Perjalanan Adaptif Seorang Guru Disleksia"

Saya dibesarkan dalam sistem yang menertawakan kekurangan dan mengagungkan keseragaman. Sebagai anak dengan disleksia dan ADHD, saya tumbuh dalam lorong-lorong sunyi penuh ejekan, nilai merah, dan tatapan merendahkan. Di sekolah, saya dianggap aneh. Di rumah, saya dianggap terlalu aktif. Di masyarakat, saya dianggap "tidak bisa diatur." Tapi mungkin, dari semua label itu, yang paling menyakitkan adalah ketika saya mulai percaya bahwa saya memang bodoh.

Namun, waktu membuktikan bahwa keterbatasan bisa menjadi kekuatan, jika kita mau melihat dengan hati. Saya tidak lagi menjadi korban dari sistem yang tidak paham. Saya memilih menjadi penggerak, menjadi guru. Sudah lebih dari 15 tahun saya mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Bukan karena saya sempurna, tapi karena saya tahu, seperti mereka, saya pun pernah kesepian dan ingin dimengerti.

Saya memulai proyek Dyslexia Keliling Nusantara bukan karena punya dana besar atau jaringan kuat. Saya memulainya dengan satu hal: keyakinan bahwa setiap anak berhak dipahami. Saya pergi dari kota ke kota, desa ke desa, bukan untuk mengubah dunia, tapi untuk menyalakan satu cahaya kecil di ruang-ruang kelas yang gelap oleh ketidaktahuan. Tanpa sponsor, tanpa panggung besar. Hanya saya, beberapa relawan, dan anak-anak yang mata dan hatinya terus menunggu kesempatan.

Tapi kenyataan tak semanis niat baik. Banyak yang mencibir:
"Kenapa repot-repot urusi anak yang tak bisa membaca?"
"Memangnya penting memperjuangkan disleksia?"
"Ngapain keliling, siapa juga yang peduli?"

Saya mendengar semua itu. Bahkan lembaga dan instansi besar yang mengaku peduli pendidikan, lebih sibuk dengan proposal proyek yang menguntungkan nama dan citra, ketimbang mendengarkan suara anak-anak yang tidak bisa menyebut huruf. Saya berjalan sendirian di awal. Saya belajar membiayai perjalanan dari honor mengajar, menjual buku, dan kadang... dari sisa uang dapur.

Namun, saya tidak pernah menyerah. Karena di balik semua itu, ada satu wajah anak yang saya ingat:
Seorang anak laki-laki yang menangis karena tidak bisa membaca namanya sendiri. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya dia berkata, "Pak, aku bisa nulis A."
Dan dunia saya kembali terang.

Saya tahu, banyak yang belum paham. Tapi saya juga tahu, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang terus diulang dengan sabar. Saya tidak sedang menyelamatkan dunia. Saya hanya sedang memastikan bahwa anak-anak dengan disleksia, ADHD, dan kebutuhan khusus lainnya tidak merasa sendirian, dan bahwa mereka tahu: ada seseorang di luar sana yang mengerti dan percaya pada mereka.

Saya, yang dulu dianggap gagal, kini menjadi guru yang dipercaya.
Saya, yang dulu tak bisa membaca, kini menulis cerita anak-anak.
Saya, yang dulu dianggap "sulit diatur", kini memimpin perubahan.

"Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk membuat perubahan. Kita hanya perlu cukup berani untuk tidak diam." -- Imam Setiawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun