Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pikiran Disleksia Mengguncang Sistem

14 Juni 2025   15:56 Diperbarui: 14 Juni 2025   15:56 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketika Pikiran Disleksia Mengguncang Sistem: Kenapa Inovasi Membutuhkan Kekacauan, Bukan Kendali"

Di dunia kerja modern, kita sering mendengar jargon seperti "inovasi," "kreativitas," dan "diversitas kognitif." Tetapi mari kita jujur berapa banyak ruang kerja yang benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari keberagaman pikiran itu? Berapa banyak perusahaan yang berkata, "Kami mendukung neurodiversity," tapi pada saat yang sama tidak tahan dengan satu pertanyaan: "Kenapa kita harus kerjakan seperti ini?"

Pertanyaan sederhana itu yang sering muncul dari pemikir disleksia bisa mengguncang ruang rapat. Bukan karena ia salah, tapi karena ia menantang sistem. Sistem yang dibangun oleh rasa takut, bukan rasa ingin tahu.

Disleksia sering kali disalahpahami hanya sebagai kesulitan membaca dan menulis. Tapi Sir Jim Rose (2009) dalam laporan penting untuk Pemerintah Inggris menjelaskan bahwa disleksia lebih dari itu: ia adalah perbedaan dalam cara otak memproses informasi, terutama dalam hal fonologis dan memori kerja, tapi dengan potensi luar biasa dalam penalaran spasial dan pemecahan masalah kreatif.

Richard Branson, seorang disleksik terkenal, bahkan mendorong pengakuan "dyslexic thinking" sebagai keterampilan yang bisa dicantumkan di LinkedIn, karena ia melihat bahwa cara berpikir non-linear ini justru menghasilkan inovasi, bukan menghambatnya.

Ron Davis (1992) menyebut bahwa pemikir disleksia cenderung berpikir secara multi-dimensi, mampu memvisualisasikan ide, menghubungkan pola-pola tersembunyi, dan memecahkan masalah dengan cara yang tak konvensional. Di dunia yang makin kompleks, justru otak yang bisa menari di tengah kekacauan inilah yang kita butuhkan.

Namun, di banyak ruang kerja, terutama yang dikuasai oleh sistem manajerial yang kaku, orang-orang dengan pemikiran ini justru dianggap ancaman.

Micromanagement bukanlah bentuk kepemimpinan. Ia adalah bentuk kecemasan yang dilegalkan. Seorang micromanager lebih tertarik pada proses daripada hasil, lebih peduli pada kontrol daripada kepercayaan.

Studi oleh Harvard Business Review (2018) menunjukkan bahwa micromanagement menurunkan motivasi dan produktivitas tim hingga 30%. Bukan karena orang malas bekerja, tapi karena mereka tidak diberi ruang untuk berpikir.

Sementara itu, Nancy Doyle, pendiri Genius Within, dalam penelitiannya bersama British Psychological Society (2020), menekankan bahwa neurodiverse employees seperti individu dengan disleksia, ADHD, atau autisme lebih cocok bekerja dalam sistem yang menilai hasil kerja, bukan cara kerja. Sayangnya, banyak organisasi masih mengukur produktivitas dari kehadiran, rapat, dan status update bukan dari terobosan atau dampak nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun