Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika ADHD dan Disleksia Menyamar sebagai Kemalasan

10 Juni 2025   11:14 Diperbarui: 11 Juni 2025   11:39 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama lebih dari dua dekade, saya hidup dengan sesuatu yang tak saya mengerti. Sesuatu yang membuat saya berbeda, tapi bukan dalam cara yang dipuji. Sesuatu yang membuat saya sering ditegur, dijuluki bodoh, dan dijauhkan dari kata "berprestasi."

Saya adalah anak yang disleksia dan ADHD. Tapi selama dua puluh tahun, tak ada yang tahu. Tak ada yang menanyakan. Tak ada yang menyadari. Bahkan saya sendiri pun tidak tahu bahwa saya menjalani hidup dengan otak yang bekerja secara sangat berbeda dari kebanyakan orang.

Di ruang kelas, saya adalah murid yang dianggap malas karena tak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu. Saya sering berdiri dari kursi, melamun saat guru bicara, dan mengganggu teman hanya karena otak saya tak bisa diam. 

Tapi tak ada yang berpikir bahwa ini mungkin ADHD. Karena stigma mengatakan, "kalau kamu bisa main game selama berjam-jam, berarti kamu tidak punya masalah fokus."

Penelitian dari American Psychiatric Association menyebutkan bahwa ADHD bukan tentang kurangnya perhatian, melainkan tentang ketidakmampuan mengatur perhatian. 

Otak dengan ADHD bukan tak bisa fokus ia justru terlalu fokus pada hal yang menarik secara emosional, tapi gagal fokus pada hal yang "diperintahkan" oleh lingkungan, seperti pelajaran matematika di jam terakhir sekolah.

Saya juga disleksia. Saya tahu itu sekarang. Tapi saat kecil? Saya hanya merasa bodoh. Huruf-huruf di buku seperti menari, melompat, berubah bentuk. Saya butuh waktu lama untuk membaca satu paragraf, dan lebih lama lagi untuk memahami isinya. Tapi guru saya bilang, "kamu cuma kurang latihan."

Padahal, menurut Shaywitz (2003) dari Yale Center for Dyslexia and Creativity, disleksia adalah perbedaan cara otak memproses bahasa, bukan tanda kecerdasan yang rendah. Bahkan banyak individu disleksia yang justru memiliki kecerdasan di atas rata-rata, hanya saja mereka tidak bisa belajar dengan cara standar.

Saya merasa terjebak. Karena ketika saya tidak bisa fokus, saya dibilang pemalas. Ketika saya tidak bisa membaca cepat, saya dianggap tidak cerdas. Dan ketika saya tidak bisa duduk tenang, saya dicap pengganggu.

Tidak ada yang melihat ini sebagai gejala. Tidak ada yang membuka ruang dialog. Tidak ada yang bilang, "Mungkin kamu butuh cara belajar yang berbeda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun