Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kode Menjadi Bahasa baru : Di Mana Tempat Anak Berkebutuhan Khusus ?

16 Mei 2025   12:38 Diperbarui: 16 Mei 2025   10:38 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketika Kode Menjadi Bahasa Baru: Di Mana Tempat Anak Berkebutuhan Khusus?"

"Semua anak harus belajar coding dan AI." Kalimat ini terdengar seperti semangat zaman yang tidak bisa dibantah. Kita hidup di era digital, dan dunia memang sedang berubah. Tapi saya bertanya dalam hati: apakah kita benar-benar mengajak semua anak, atau hanya mereka yang dianggap 'siap' oleh sistem?

Pemerintah baru-baru ini menggulirkan kebijakan untuk memasukkan pelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) ke dalam kurikulum nasional. Sebuah langkah maju, tentu saja. Tapi mari kita tarik napas sejenak dan bertanya: apa kabar anak-anak yang tak bisa membaca huruf, apalagi barisan kode? Anak-anak dengan disleksia, ADHD, autisme, diskalkulia, dan bentuk kebutuhan khusus lainnya mereka masih tertatih mengeja dunia yang seringkali tidak disesuaikan untuk mereka. Lalu sekarang, mereka diminta memahami logika mesin?

Saya sendiri adalah penyandang disleksia dan ADHD. Dulu, membaca satu paragraf saja seperti menatap huruf-huruf yang menari di atas air. Fokus saya seperti layang-layang yang putus, sulit sekali saya duduk tenang, apalagi memahami soal logika komputer. Di sekolah, saya bukan murid yang disiapkan untuk dunia coding saya bahkan bukan murid yang dipercaya untuk lulus ujian dengan layak. Tapi hari ini, saya justru menjadi pengajar untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Saya berdiri di sisi yang dulu tidak pernah memberi saya ruang.

Saya tahu betapa menyakitkannya ketika kurikulum berubah cepat tanpa pernah bertanya: "Siapa yang tertinggal?" Bagi anak seperti saya dan jutaan lainnya AI dan coding bukan hanya tantangan baru, tetapi bisa menjadi jurang baru, jika kita tidak peka.

Jean Piaget, psikolog perkembangan terkenal, mengatakan bahwa anak belajar dengan membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman dan tahapan perkembangan kognitifnya. Sementara Lev Vygotsky menekankan pentingnya peran sosial dan dukungan dari orang dewasa atau teman sebaya dalam membantu anak mencapai potensi mereka melalui "zona perkembangan proksimal". Jika kurikulum tidak memberi ruang pada perbedaan tahap dan gaya belajar, maka kebijakan sekeren apapun akan menjadi tidak relevan.

Penelitian oleh Shaywitz (2003) menunjukkan bahwa otak anak disleksia bekerja dengan cara yang berbeda, bukan karena kurangnya kecerdasan. Sementara itu, Barkley (1997) menekankan bahwa anak ADHD bukan malas atau tidak bisa fokus, tapi sistem kerja otaknya memerlukan pendekatan yang berbeda. Lalu, apakah kita akan terus menilai anak-anak ini dengan parameter dan tools yang sama?

Kebijakan kurikulum yang memasukkan coding dan AI bukan harus ditolak, tapi harus dilengkapi. Dilengkapi dengan pelatihan guru tentang pendekatan berbasis kebutuhan khusus, dengan teknologi yang inklusif, dengan diferensiasi pembelajaran yang nyata. Jika kita serius ingin semua anak ikut dalam revolusi digital, maka jangan cuma bicara soal inovasi, bicaralah juga soal empati.

"Kita tidak sedang menciptakan masa depan yang hebat jika di masa depan itu, sebagian anak kita ditinggalkan di belakang."  Imam Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun