Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, aku hidup dalam pusaran kebingungan sejak kecil. Ketika huruf-huruf menari di buku bacaan, ketika guru menatapku dengan tatapan kecewa, ketika teman menertawakan jawabanku yang salah padahal aku sudah berusaha mati-matian. Semua itu membuat siang hari terasa seperti medan perang bising, penuh tekanan, dan menakutkan.
Tapi malam? Malam adalah ruang aman.
Di tengah sunyi, aku bisa membaca perlahan tanpa tekanan. Bisa menulis kalimat meskipun harus diketik lambat satu per satu. Tidak ada yang menertawakan. Tidak ada yang memburu. Hanya aku dan pikiranku. Di malam hari, aku menemukan ketenangan yang tidak bisa ditawarkan siang.
Aku mulai menerima bahwa ritme unik ini bukan aib. Ia bukan kelemahan, tapi kekuatan tersembunyi yang perlu dipahami, bukan diperangi. Dan dari situ, aku mulai menulis. Mengajar. Membangun program "Dyslexia Keliling Nusantara". Menemani anak-anak dengan cara yang dulu aku harap seseorang lakukan padaku.
Ada banyak anak dan remaja di luar sana yang seperti aku: dianggap tidak disiplin karena produktifnya beda jam. Dianggap bodoh karena gaya belajarnya tidak standar. Padahal mungkin, mereka hanya butuh waktu dan ruang untuk bersinar dan waktunya bukan jam 8 pagi.
Itulah mengapa penting bagi guru dan orang tua untuk memahami bahwa jam tidur yang "aneh" atau produktivitas yang mekar di malam hari bukan sekadar kebiasaan buruk. Ini bisa jadi bagian dari pola neurologis yang unik, terutama pada anak dengan ADHD.
Dalam konteks pendidikan inklusif, pemahaman ini sangat penting. Anak-anak dengan disleksia dan ADHD sering kali memiliki ritme dan cara berpikir yang berbeda. Memaksa mereka untuk terus menyesuaikan diri tanpa memberi ruang fleksibel justru membunuh potensi mereka secara perlahan.
Kini, aku tidak lagi memaksa tubuhku untuk tidur jam 9 malam hanya agar terlihat "normal." Aku tidur saat tubuhku siap, dan bangun dengan semangat. Aku menulis saat ide-ide bermunculan, meski itu jam 2 pagi. Dan aku bekerja dengan anak-anak dengan sepenuh hati, bukan karena aku sempurna, tapi karena aku tahu rasanya dianggap rusak hanya karena tidak bisa mengikuti aturan jam yang dibuat dunia.
Aku belajar menerima diriku dengan segala ritme, kekacauan, dan keajaiban di dalamnya.
Dan kamu juga bisa.
Jangan takut jika duniamu mulai hidup saat dunia lain mulai tidur. Jangan merasa bersalah jika kamu berbeda. Mungkin, kamu bukan rusak. Kamu hanya tidak cocok dengan jam dinding dunia. Dan itu bukan salahmu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!