Menata Tujuan Hidup bagi Kita yang Neurodivergen
Pernahkah kamu merasa frustrasi karena tidak bisa mengikuti "aturan" tentang cara meraih mimpi? Pernahkah kamu merasa seperti dunia merancang semua standar keberhasilan bukan untukmu? Aku pernah. Bahkan sering. SMART Goals konsep yang katanya paling ampuh untuk meraih keberhasilan malah membuatku merasa kecil, bingung, dan tak berdaya.
SMART Goals, yang diperkenalkan oleh George T. Doran pada 1981, terdiri dari lima elemen: Spesifik, Measurable (Terukur), Achievable (Dapat Dicapai), Relevant (Relevan), dan Time-Bound (Terikat Waktu). Secara teori, ini memang terdengar logis dan terstruktur. Tapi mari kita jujur bagi otak neurodivergen seperti ADHD dan disleksia, struktur semacam itu bisa menjadi jebakan.
Dr. Thomas E. Brown, seorang ahli ADHD dari Yale University, menjelaskan bahwa ADHD bukanlah sekadar gangguan perhatian. Ia menyebutnya sebagai gangguan fungsi eksekutif, yaitu kemampuan otak untuk memulai, merencanakan, mengatur, dan menyelesaikan tugas. Hal yang bagi orang lain tampak sederhana, seperti menulis rencana harian atau membuat to-do list, bisa menjadi tantangan besar. Otak ADHD tidak bergerak secara linear ia bekerja dalam pola nonlinear, penuh loncatan ide dan intensitas emosi yang kadang tidak bisa diprediksi.
Sebagai seseorang yang menyandang disleksia dan ADHD sejak kecil, aku hidup dalam labirin antara tuntutan sistem dan kenyataan pikiran. Saat teman-teman dengan mudah menyusun langkah demi langkah dalam buku agenda mereka, aku justru sibuk mencoba memahami kenapa otakku menolak sistem itu. SMART Goals terasa seperti kotak sempit yang memaksa ide-idemu duduk diam, padahal otak ADHD itu seperti anak kecil yang berlarian di taman imajinasi penuh potensi, tapi tidak bisa dibatasi dengan garis-garis lurus.
Saat aku duduk menulis tujuanku, bukan daftar terstruktur yang muncul, melainkan gambaran besar: emosi, warna, suara, rasa. Aku tahu apa yang ingin aku capai, tapi tidak bisa menjelaskan dengan kalimat seperti "dalam 3 bulan saya harus...". Dan aku belajar bahwa itu bukan kelemahan itu hanya cara kerja otakku yang berbeda.
Dr. William Dodson, seorang psikiater yang juga spesialis dalam ADHD, memperkenalkan konsep yang disebut "Interest-Based Nervous System". Ia menjelaskan bahwa individu ADHD tidak termotivasi oleh tenggat waktu atau hukuman, melainkan oleh ketertarikan, urgensi emosional, dan tantangan yang berarti. Kita tidak bergerak karena "harus", tapi karena "ingin" karena ada makna.
Ini membuka mataku. Tujuan hidup bukan soal terikat waktu, tapi terhubung rasa. Kita tidak perlu tujuan yang "pintar" (SMART), kita butuh tujuan yang HIDUP. Tujuan yang memberi kita energi, bukan kecemasan. Tujuan yang membuat kita bangun pagi dengan rasa ingin tahu, bukan dengan beban harus menyelesaikan daftar centang.
Lalu, bagaimana caranya kita yang neurodivergen menetapkan tujuan hidup?
Fleksibilitas Di Atas Ketepatan
Jangan takut untuk menulis tujuanmu dalam bentuk narasi, bukan angka. Misalnya: "Aku ingin menciptakan ruang aman bagi anak-anak disleksia untuk belajar dengan cara mereka sendiri," alih-alih "Aku ingin mendirikan sekolah dalam 1 tahun."
Makna Di Atas Tenggat
Fokus pada why kenapa kamu ingin mencapai itu? Makna akan membimbingmu saat semangat menurun. Viktor Frankl, dalam teorinya Logoterapi, menyebutkan bahwa manusia mampu bertahan dalam penderitaan asalkan ia memiliki makna. Begitu juga dengan kita makna adalah bahan bakar perjalanan.
Rancang Tujuan yang Emosional, Bukan Rasional Saja
Bagi otak neurodivergen, emosi memegang peran penting. Gunakan emotional visioning, bayangkan bagaimana rasanya jika tujuan itu tercapai, dan simpan rasa itu dalam hatimu.
Tulis Ulang Narasi Hidupmu
Jangan terjebak dalam narasi bahwa kamu lambat, kacau, atau gagal hanya karena tidak bisa mengikuti sistem umum. Tulis ulang dengan narasi bahwa kamu kreatif, unik, dan memiliki jalur sendiri yang tak kalah bermakna.
Hari ini, aku berdiri sebagai pendidik untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Aku bukan lagi anak yang merasa tersesat di sekolah. Aku menemukan caraku sendiri menavigasi dunia bukan dengan SMART Goals, tapi dengan Goals yang Selaras dengan Jiwaku. Aku tidak lagi memaksakan diri untuk jadi "normal". Aku memilih untuk jadi "bermakna". Dan kamu juga bisa.
"Jangan ukur hidupmu dengan kecepatan orang lain. Ukurlah dengan seberapa jujur kamu menjalani tujuan yang kamu yakini." --- Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI