Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Inklusi VS Sekolah Rakyat, dan Anak yang Tersingkirkan

23 April 2025   09:45 Diperbarui: 21 April 2025   12:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah Inklusi VS Sekolah Rakyat, dan Anak yang Tersingkirkan

Nama saya Imam Setiawan. Saya adalah seorang penyintas disleksia dan ADHD yang sejak kecil dianggap "bodoh", "nakal", bahkan pernah dikira autis hanya karena saya tidak bisa duduk diam dan membaca seperti teman-teman saya.

Saya tumbuh di tengah sistem pendidikan yang tidak pernah benar-benar mengenal saya. Dan mungkin... tidak pernah benar-benar ingin mengenal saya.

Bertahun-tahun kemudian, saya bukan hanya berhasil berdamai dengan diri sendiri, tapi saya justru kembali ke ruang kelas bukan sebagai murid, tapi sebagai guru. Guru untuk anak-anak yang seperti saya dulu: yang dianggap tidak bisa belajar, yang dinilai dari kekurangannya, bukan potensinya.

Dari perjalanan panjang itu, lahirlah Dyslexia Keliling Nusantara, sebuah gerakan yang saya mulai sejak 2017. Saya pergi dari satu pelosok ke pelosok lain di Indonesia menemui anak-anak yang kesulitan membaca, menulis, berhitung, anak-anak yang disebut "aneh" hanya karena otaknya bekerja dengan cara yang berbeda. Saya juga bertemu para guru yang ingin membantu, tapi tak punya pelatihan. Orangtua yang ingin memahami, tapi dibungkam stigma dan minimnya informasi.

Di setiap desa, kota, dan pulau yang saya datangi, satu pertanyaan terus berputar di kepala saya:

"Pendidikan ini sebenarnya untuk siapa?"

Kita sudah punya jargon indah bernama "Sekolah Inklusi." Tapi, di lapangan, saya melihat fakta yang getir:

  • Masih banyak guru yang belum memahami apa itu disleksia, ADHD, atau gangguan belajar lainnya.
  • Banyak sekolah yang hanya memakai label "inklusi" tapi tidak punya pendamping, tidak punya program individual, bahkan tidak punya empati.
  • Anak-anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) terpaksa diam di sudut kelas karena dianggap "mengganggu ritme belajar."
  • Dan orangtua? Mereka belajar sendiri, cari jalan sendiri, bertahan sendiri.

Kini, pemerintah meluncurkan program baru: Sekolah Rakyat, sebagai bagian dari kebijakan sosial dan pendidikan Presiden. Konsepnya terdengar ideal sekolah untuk semua, aksesibel bagi masyarakat miskin, gratis, terbuka.

Tapi saya bertanya lagi dan saya ingin kita semua bertanya bersama:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun