Mohon tunggu...
Imam Buchori
Imam Buchori Mohon Tunggu... Politisi - Welfare activists, Democracy researchers and critics abuse of Political Power

Alumnus Political Science & Non-Partizan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Oksimoron Seorang Technolibertarians Dialah "Peter Thiel"

14 Januari 2021   23:21 Diperbarui: 15 Januari 2021   03:50 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by pawelpiechnik.com

Di tengah pesatnya rotasi pengembangan teknologi digitalisasi, dunia di ramaikan dengan para pesohor jenius bin ahli “tekno” yang berlomba-lomba bahkan sampai beberapa berambisi keangkasa, sudah bukan rahasia khusus lagi bagi para pionir transformasi teknologi yang membludak, juga tak di pungkiri pula telah bermunculan inovasi teknologi yang massif serba otomasi, koneksi, dan komputasi. Dimana berguna sebagai instrumen pendukung kemudahan kinerja manusia seantero bumi. Dari mulai menjalar di bidang transportasi, pendidikan, informasi, konstruksi, agrikultur, arsitektur, Artificial Intelligencia, komunikasi, bisnis, dst.

Dari segi militer misalnya,. Pemerintahan Nicolas Maduro di Venezuela, baru-baru ini sedang mewacanakan pembentukan dewan ilmiah dan teknologi militer demi membangun sistem persenjataannya.

Di samping itu  nama-nama anyar yang menghiasi perusahaan teknologi digitalisasi dan para investor global dengan skill tingkat dewa dalam spektrumnya tersendiri seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, Jeff Bezos, Steve Jobs, Jack Ma, Warren Buffett, Mukesh Ambani, George Soros, Lary Page, Larry Ellison, Bernard Arnault, Carlos Slim Helú, sampai yang termutakhir perihal  dobrakan inovasinya yakni Elon Musk, walaupun dalam peracikan saya tak terlalu menyasar tentang Don Musk ini, setidaknya  beliau bisa jadi jembatan saya kepada pelaku yang saya maksudkan nantinya.

Jadi, pribadi Don Musk ini yang tergolong ngotot dalam hal teknologi, dan punya terobosan yang katanya “ramah lingkungan”  Melalui Perusahaan raksasanya Spacex di bidang spesialis menjelajah keluar bumi, SolarCity sebagai pengganti bensin konvensional, lalu yang menjadi andalannya ialah Tesla Motors, perangsang kenikmatan golongan manusia kelas kakap dengan kendaraan mobil tanpa supir alias automatis di sokong dengan penggerak tenaga listrik.

Dilansir dari otosia.com sudah barang tentu mobil Tesla tipe X 75D A/T  yang harganya terbilang wow, di bandrol dengan kisaran paling rendah senilai US$200 ribu atau setara Rp2,8 miliar per unitnya.


Tapi taukah kita jauh sebelum CEO Musk ini mempunyai ketiga perusahaan pamungkas itu, ia sebenarnya telah merintis berbagai perusahaan seperti Zip2, X.com lalu PayPal. Namun yang menarik dalam perusahaan terakhir saya sebutkan itu, menjadi awal mula dari rasa penasaran saya secara mendalam.

Yah,. PayPal perusahaan yang bermula dari starup bergerak di bidang jasa pembayaran via elektronik dan secara implisit menggiring khalayak ramai untuk meninggalkan transaksi dalam bentuk “kuno” seperti cash, kantor pos maupun cek. sekaligus juga menawarkan jasa kemudahan kepada situs-situs E-Commerce.

PayPal Di luncurkan sejak tahun 1999 ini, sebelum akhir hayatnya di ambil alih oleh Ebay  di tahun 2002 dengan jumlah  pembelian $ 1,5 miliar. Ternyata meluncurkan arah pikiran saya pada kolega bisnis dari Don Musk ini, walaupun beliau bukan sebagai pendiri dari PayPal, tetapi ia juga berjibaku dalam ihwal pendiriannya.

Lantas bertambah lagi kerasa ingin tahuan saya, ketika PayPal bukan didirikan oleh Don Musk, lalu siapa seseorang di balik pimpinan CEO PayPal ini sebenarnya?,. Luke Nosek, Ken Howery, Max Levchin, Yu Pan yakni nama-nama yang ikut andil dalam mendirikan PayPal, tetapi hemat saya seseorang yang memaksa perhatian  dalam topik  ini menuju kepada sosok  otak maupun aktor utamanya yang pantas menyandang gelar ‘Technolibertarians’., Ya  dialah Peter Thile.

Bagi kebanyakan orang mungkin lebih tertuju pada kemewahan Elon Musk perihal misi menggapai luar angkasanya  yang di tawarkan untuk kehidupan masa depan. Tetapi saya menghimbau bahwa jangan meninggalkan peran seorang “filsuf” dalam tataran teknologi ini, di mana letak daya kemampuannya bisa di katakan cukup kompleks jika di sandingkan dengan para ahli teknologi kekinian lainnya.  

Begini, Peter Andreas Thiel ini tiba mendarat di dunia 52 tahun silam di Frankfurt, Jerman Barat. Sejak berusia satu tahun, Thiel sudah di boyong dengan orang tuanya dari Jerman ke Amerika Serikat.  Ketika tumbuh dewasa ia tercatat sebagai mahasiswa filsafat di Universitas Stanford 1989, juga sempat mendirikan The Stanford Review, yaitu surat kabar kritis perihal keputusan politik. Lalu sempat juga menempuh studi fakultas hukum Stanford, kemudian itu setelah wisuda 1992, thiel menerbitkan tulisan The Diversity Myth yang di buat bersama koleganya David Sacks, di tujukan untuk kritik pada intoleransi politik di universitas.

Nah, Pada fase emas karirnya sekarang ini,.  Beliau bisa di katakan menyandang status rupa-rupa mulai dari eksekutif bisnis, philanthropist, aktivis politik, penulis, mantan pengacara,  dan pastinya bagian dari maha investor global. Bagi saya thiel ini bisa di bilang sebagai “playmaker” dari PayPal. Lalu ia juga menanamkan modalnya di perusahaan Facebook kepunyaan dari babang jago Mark Zuckerberg.

Untuk urusan perusahaan teknologi utama yang kini thiel jalankan ialah Founders Fund terletak di San Francisco berdiri pada tahun 2005, bergerak dalam modal ventura atau pembiayaan modal kepada perusahaan star-up atau sejenisnya. Perusahaan ini berinvestasi kedalam sektor AI, energi, kesehatan, dirgantara, Internet konsumen, dan komputasi.

Portofolionya juga sudah tersebar di berbagai brand seperti Spotify, Stripe, Oscar Health Airbnb dan Lyft., Founders Fund juga penanam modal awal di Space Exploration Technologies (SpaceX) yang tak lain kepunyaan dari “Bromancenya” thile sendiri yaitu Elon Musk,  kemudian perusahaan lainnya yang di jalankan oleh thiel juga bernama Palantir Technologies.

Palantir Technologies  yang fokusnya pada pengembangan perangkat lunak untuk melakukan analitik data besar. Terletak di Denver, Colorado. Dalam pendiriaanya sendiri di bantu oleh beberapa kawan thiel lainnya yakni Stephen Cohen, Nathan Gettings, Joe Lonsdale dan Alex Karp. 

Palantir sendiri berjalan melalui dua proyek utamanya: Gotham dan Metropolis. Gotham digunakan oleh analis kontra-terorisme di kantor United States Intelligence Community (USIC)  dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam tugas pengawasan jarak jauh. Seadangkan   Metropolis bergerak sebagai pendanaan pelindung, Bank, dan menawarkan jasa di sektor financial.

Selain itu dari segi visi politisnya thiel  terlihat dalam esainya “The Education of a Libertarian” (2009), thiel mengatakan bahwa cita-cita politisnya sendiri berangkat dari periode  1920-an di amerika serikat, di mana terjadi sebuah perubahan dan pertumbuhan pesat bagi kesejahteraan, hak kepada kaum perempuan, juga terdampak positif pada dua daerah pemilihan yang di pegang oleh kelompok libertarian dengan sebuah ciptaan gagasan baru ‘Kapitalis Demokrasi’ dan pada saatnya menjadi sebuah ‘oksimoron’. 

Thiel kemudian menyatakan bahwa sudah tak percaya dengan politik untuk menggenggam dunia di depan kelak, sebab bencana totaliter dan fundamentalis pada demo tak terpikirkan yang memandu apa yang di sebut ‘Sosial Demokrasi’. Terakhir ia mengajukan pertanyaan kritis bahwa ‘bagaiamana melarikan diri bukan melalui politik tapi di luar itu?’ impian thiel ini coba mengarahkan pada Sesuatu yang baru, ruang baru, kebebasan yang tepat dan itu di fokuskan pada keterbaharuan teknologi.

Maka saya pun coba menasbihkan dari gerak linear arus dialektika thiel, Nampaknya ia lebih elegan ketika di berikan perpaduan oksimoron antara teknologi dan libertarian menjadi sebuah identitas seorang Technolibertarians.

 Sepak terjang Thiel sebagai Technolibertarians?

Untuk membingkai alur lebih mendalam dari sebuah rekam peristiwa seorang Technolibertarians saya cukup tertarik seperti apa yang di katakan oleh pemikir asal California, Paulina Borsook dalam karyanya ‘Cyberselfish’ (1996) ; “Teknolibertarianisme lebih merupakan religi daripada gerakan politik. putaran konstan perangkat lunak BUKAN model untuk bagaimana semua institusi dan hubungan manusia seharusnya.’ Di mana ia mencoba mengamati ketika problem dasarnya sebenarnya tidak pada pelaku teknologinya tetapi ketika target dari pengguna teknologi itu sendiri yang bias mempercayai bahwa seorang ahli teknologi di imajinerkan dalam bentuk sebuah “filsuf digitalisasi”  secara kontekstual kini, di tambah lagi manusia-manusia pun mengalami “miopia” dalam meneropong basis dari para perancang teknologi.

Dalam pengetahuan empiris Borsook perihal segi privasi dia melihat Di Eropa dan Amerika Serikat, polisi dan agensi lain ingin merekam semua data telekomunikasi, mereka ingin memata-matai email Anda, mereka ingin meninggalkan penjelajahan anonim dan remailer anonim. Jadi bagaimana seandainya ketika privasi anda di ulik-ulik oleh orang tak di kenal, sekalipun juga yang anda kenal.

Tentu anda akan merasa tak nyaman rahasia dapur di ulek apalagi itu di pergunakan oleh institusi formal negara yang alih-alih melindungi hak individual berbalik keblinger “menelanjangi” warganya sendiri. Sampai-sampai pemirsa Indonesia pun bukan hal yang sulit untuk bisa di korek jejak privasinya masing-masing dari hulu dalam kota  kulturtekno  di silicon valley sana.

Lanjutnya dalam menilai kondisi di California, borsook tidak setuju dengan adanya revolusi digitalisasi  sekalipun mau di kemas dengan revolusi mobil, revolusi telegraf, atau revolusi listrik, sebab di anggap tetap  hanya menjadi sebuah narasi propaganda bagi seorang teknolibertarian yang berstatus sebagai agen cukongnisasi dengan pemerintah di sana. Ketika bagaiamana ceritanya sebuah ‘kabel’ bisa menjelma sensasi di dunia penginternetan, kemudian berbuah ‘ekonomi terbaharukan’ dalam ruang-ruang cyber yang tak material?

Sayangnya prodak-prodak mewah bin canggih tak bisa menjinakan semua kesengsaraan manusia. Sehingga terjadi lah ‘manipulasi pasar’ yang di sajikan oleh para pesohor ‘teknolog-isme’, liat saja di amerika hampir jarang terjadi kelangkaan sektor energi., Terkecuali itu di fiksikan. Di tambah masifnya legislator yang naif, membuat suatu konsensus kepada peloby misterius yang berasal usul dari antah berantah tuk membuat suatu keran deregulasi.

Dan taraaa! Apa yang terjadi? ternyata Itu semua dihidangkan pada baginda kanjeng lord pemilik perusahaan utilitas industri tertentu yang bersolidaritas dengan lembaga negara. Demi untuk mengaduk-aduk sistem yang di keroyok oleh elit oligarki.

Bahkan halaman depan New York Time pun pernah merilis perihal apa yang akan di respon oleh teknolibertarian di saat menghadapi jalan terjal dari kaum menengah  terampil yang merasakan peliknya pengangguran struktural kronis?

Ini pun mendapat tanggapan tak jauh beda dari rilisan organisasi serikat buruh United Auto Workers, mereka membayangkan pasti jawaban dari para teknolibertarian akan seperti ini ‘Nah, penjahat kerah biru(buruh) itu adalah pemikiran Gelombang Kedua inersia terkutuk, diri mereka sendiri yang membuat mereka menganggur.’

Namun sebaliknya apa yang akan mereka katakan pada pekerja kerah putih(kantoran) yang sudah paten pada skil teknologi komputer?., lalu bagaimana bisa pejabat yang tidak tahu-menahu akan ilmu sejarah juga ilmu politik maupun berinteraksi dengan mahluk sosial lainnya, membentuk suatu keputusan bersifat kearah publik dan tak memikirkan dampaknya?, Sebab yang mereka tahu lebih gampang mendapatkan penghasilan melalui pemrograman, dan terkadang memang lebih mudah berinteraksi dengan email di bandingkan dengan dunia nyata. Itu yang banyak di praktiskan oleh para ahli kecanggihan.

Teknoliberarian seharusnya lebih mencemaskan pemerintah besar yang buruk, tetapi nahasnya mereka lebih mempunyai obsesi tentang yang terpenting ladang panen yang cerah dan keindahan yang fana. Terlepas dari itu mereka pun cuek-cuek saja pada cerita nyata invasi privasi yang basi di benak nurani teknolibertarian. Mengalahkan kilat di mana dunia internet di ekploitasi, demi memperdagangkan database konsumen juga preferensi pembelinya.

Dilacaknya “calang(calon langganan)” dari ujung kaki sampai ujung ubun-ubun di cukur sebisa mungkin. Akhir dari cerita teknologi,  hanya masif melihat kemewahan inovasi kemudian meminggirkan dampak aspek ekologi,  dan jika memilih ending yang lebih tepat maka   kehancuran lingkungan yang lebih pasti. Tercemarkanlah limbah beracun oleh bahan dasar perangkat keras dari pembuatan bermacam-macam teknologi. 

Sebut saja semacam material ampasan  semikonduktor dan plastik itu sendiri yang biasa kita lihat di perusahaan industri “kekinian” juga barang-barang pribadi seperti elektronik dan berbagai jenis gadget yang setiap hari sudah jadi kebutuhan konsumerisme utama.

Kembali pada sosok  thiel dari segi aliansi politisnya, pada 2016 lalu thiel menjadi patron terdepan dalam kampanye pilpres amerika untuk mendukung trump, di tambah para kolega thiel termasuk alex karp (penganut neo-Marxis dan pernah mendapuk gelar doktornya dalam “teori neo-klasik” di universitas Goethe jerman, yang dimana itu kediaman studi dari ilmuan politik  Jurgen Habermas), karp terciduk berada di trump tower setelah pemilihan pilpres terdahulu.

Kemudian thiel yang Terlihat bagaimana ia menunjukan sisi batang hidungnya di media-media maupun opininya, di satu sisi memobilisasi pasukan dari silicon valley untuk mendompleng elektabilitas trump walaupun di lain pihak pribadi trump kurang di sukai oleh warga kota perteknologian di sana. Anehnya di tahun 2020 pada  pilpres amerika bulan november. Thiel sama sekali tak terlihat seperti pergerakan politik arus utamanya trump seperti di empat tahun kebelakang.

Kemudian jika melihat produk palantir gotham dan metropolis buatan thiel  yang bermitra dengan pemerintah,.  di gunakan sebagai penambangan data untuk misi spionase dari kalangan intelijen, militer, polisi, pemburu teroris, krimimal, pencatatan bank dan semua  pola pelacakan tersembunyi lainnya. Produk dari thiel juga di anggap bisa sebagai tameng dari kontra-ancaman di masa depan kelak. Itu semua di lakukan demi terpenuhinya birahi para pelaku ambisius penguasa global.

Ini sempat di interpretasikan oleh Sharon weinbeger dalam nymag.com, mengenai buku dari Mark Bowden berjudul The Finish bahwa perkara di tahun 2011 yang sukses menangkap pelaku teroris Osama Bin Laden, palantir di beri pujian atas analisa dan pengumpulan data, yang mulanya di kontrol oleh kantor kesadaran informasi atau The  Information Awareness Office (IAO) dengan program TIA (Total Information Awareness) berfungsi sebagai pengumpulan informasi detail demi mencegah kontra-terorisme, pelacakan, dan keamanan nasional amerika.

Tahun 2019 palantir kembali memenangkan tender dengan kurun waktu sepuluh tahun dengan jumlah US$876 dolar   untuk DCGS-A (The Distributed Common Ground System-Army)  yang tak lain sebagai cabang lembaga intelijen amerika. Di samping itu pula dalam tahun yang sama palantir memperbaharui kontraknya dengan kantor Bea Cukai dan keimigrasian,. Yaitu palantir di fungsikan dalam hal penemuan  sasaran imigran ilegal yang akan di deportase dari amerika di rezim trump.

Bukan hanya itu Dapartemen kesehatan dan layanan kemanusiaan amerika memilih produk palantir dengan imbalan US$25 juta dolar untuk pengumpulan data Covid 19. Selanjutnya Dapartemen urusan veteran memberi juga sekisar US$5 juta dolar perihal identifikasi data kasus wabah Covid 19 perihal kapasitas rantai pasokan, diagnostik laboratorium dan  inventaris rumah sakit.

Baru-baru ini TheMiddleMarket pun menyebutkan thiel sedang dalam wacana ekspansif usahanya di lintasan asia tenggara bersama dengan investor asal hongkong Richard li, melalui peluncuran SPAC (Special-purpose acquisition company) yang bertujuan tidak memiliki operasi tetapi berencana untuk go public dengan maksud mengakuisisi atau merger dengan perusahaan yang memanfaatkan hasil Penawaran Umum Perdana.

Objek sasarannya pun sudah merambah pada Negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand dan Indonesia. Ini semua berkat ketegangan perdagangan antara China dengan para mitra dagangnya akibat dampak ekonomi pandemic korona, hasilnya arah pembuat kebijakan merubah letak area perdagangan dari China menuju prospek pertumbuhan investasi berada di domain asia tenggara.

Bagi saya apa yang di kehendaki oleh thiel tidak lebih dari menjadikan sebuah teknologi  semacam sumber daya alam  yang di ektraksikan dalam bentuk data-data privasi, seperti dikala misal akun digital pribadi anda dari platform whatsapp, gmail, instagram, twitter, tiktok, telegram, m-banking, dokumen pribadi, dst., atau tarulah kamera depan handphone iphone or android anda yang berperan sebagai CCTV untuk mengawasi diri anda sendiri dibobol untuk kepentingan tertentu oleh orang tak bertanggung jawab. ataupun dengan embel-embel inovasi yang di tawarkan oleh para “dukun teknologi” tersebut, padahal  realitasnya telah menjadi manifesto komodifikasi. Itu semua di komersialisasikan demi keuntungan pundi-pundi “emasnya” sendiri, dan bukan untuk kepentingan masyarakat luas di amerika atau pun secara global.

Dunia perteknologian sebagai inovasi nyata telah di ubah menjadi bentuk utopia yang step by step  menjadi fasilitator demi mengkonstruksikan narasi Neo-feudalisme. Dari sini mungkin terkesan saya terlalu memposisikan diri sebagai  antek-antek “Neo-luddisme”, tetapi coba pahami dan kalau boleh saya mengajukan pertanyaan apakah bisa kecanggihan teknologi  di pergunakan untuk menyelesaikan kasus rasisme kulit hitam di amerika?  Atau kemiskinan atas banyaknya pengangguran? Atau kerusakan lingkungan? apa bisa mengentaskan kelaparan kaum urban di sana? atau mungkin mengakomodir perawatan kesehatan gratis bagi kelas menengah ke bawah?  Atau bagaimana teknologi bisa menyelesaikan masalah kompensasi penggusuran dengan nilai yang layak?

Mungkin Begini saja bagaimana seandainya teknolibertarian bisa meluruskan hukum moral sehingga bisa memberi keadilan kepada Julian Assenge atas kemurahan hatinya memberikan gratis informasi ramuan pribadi perusahaan CIA, di saat  lembaga intelijen itu dengan leluasa meretas ponsel pribadi kalian, komputer anda-anda dan apapun yang terhubung dengan internet, bisakah ini dijawab.

Atau masih bingung untuk menjawabnya di sebabkan  masih terinspirasi dengan kekayaan harta Mark Zuckerberg yang di sajikan heroik oleh media-media entertainment, dan  secara implisit telah di buat mabuk kepayang bahwa sebenarnya beberapa persen hartanya  di keruk dari data privasi manusia seluruh penjuru dunia melalui singgasana facebooknya.

Jika Michel Maffesoli pernah  membayangkan  bahwa ketika institusi modernism menurun maka di situlah terjadi orang-orang yang kembali pada masa lampau hingga mengadopsi prinsip-prinsip klasik lalu di reproduksi untuk pedoman hidup secara luas.  Saya  pribadi tetap optimis pada modernism teknologi thiel, dan berharap-harap cemas pandangan dari maffesoli bisa salah, dengan syarat kalau thiel bisa menciptakan metode penanaman mikro chip dalam otak manusia sebagaimana berfungsi untuk pejabat legislator negara yang tidak peka akan kesenjangan dan ketimpangan rakyat-rakyat keterbelakangan.

Lalu maksud saya dengan metode di tanamkan chip tersebut dalam kepala-kepala liar dan unmoral tadi akan bertransformasi menjadi “waras” nuraninya dan merangkul semua aspek kelas-kelas yang termarjinalkan, sekaligus bisa bukan hanya menjawab pertanyaan tentang tantangan teknologi saya sebelumnya, tetapi juga dengan sebuah langkah kongkret.

Misalkan masih belum mampu juga menyanggupinya, setidaknya bisa meminimalisir masalah-masalah yang hinggap di tubuh masyarakat kelas bawah. Well, Kita hanya bisa menunggu kelak guna inovasi eksentrik apa lagi yang akan di tonjolkan oleh seorang technolibertarians,. Mungkin pendirian agama baru yang menyembah teknologi selaku tuhannya, siapa yang akan tahu.

Kepustakaan

Thiel. Peter, 2009.  “The Education of a Libertarian” dalam “From Scratch Libertarian Institutions and Communities”

Borsook, Paulina, 1996, Cyberselfish, dalam  (Mother Jones)   “Silicon valley, one of the country’s biggest recipients of government largesse, would like to bite the hand that feeds it.”

Weinbeger, Sharon, 2020, “Techie Software Soldier Spy Palantir, Big Data’s scariest, most secretive unicorn, is going public. But is its crystal ball just smoke and mirrors?”

Dean, Jodi 2020, “Neofeudalism: The End of Capitalism?”  

Maffesoli, Michel (1996). “The Time of the Tribes: The Decline of Individualism in Mass Society”. London: Sage.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun