Gelaran tahunan Kampung Budaya 2025 yang diprakarsai oleh Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri EM UB) kembali hadir sebagai ruang ekspresi budaya mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan mengusung tema “Menyulam Warisan, Merajut Masa Depan,” acara ini tidak sekadar menjadi hiburan kampus, tetapi juga wadah pelestarian budaya di tengah derasnya arus globalisasi.
Sejak 2 Oktober, rangkaian acara telah berlangsung mulai dari seminar kebudayaan, lomba tari tradisional, hingga mencapai puncaknya melalui pagelaran budaya Nusantara. Event ini menghadirkan berbagai forum daerah seperti Forum Mahasiswa Sumatera, Ikatan Mahasiswa Nusa Tenggara,dari Banyuwangi(Ikawangi), Forum Sulawesi, Paguyuban Arek Malang, Ikatan Pelajar Papua, Forum Mahasiswa Kalimantan, Himpunan Mahasiswa Madura, dan lain sebagainya. Nuansa keberagaman benar-benar terasa; kampus bukan lagi sekadar ruang akademik, tetapi berubah menjadi panggung kebhinnekaan.
Dari sisi penyelenggaraan, acara ini patut diapresiasi karena berhasil merangkul mahasiswa perantau yang tergabung dalam forum-forum daerah sebagai pelaku utama, bukan sekadar pengisi acara. Ini memperlihatkan adanya upaya konkrit menjadikan Kebudayaan sebagai ruang perjumpaan dan dialog identitas.
Hal ini juga dirasakan oleh salah satu penonton, Tirta, mahasiswa Universitas Negeri Malang yang turut menyaksikan acara sejak sore hari. Dalam wawancara singkat, ia menyampaikan apresiasinya:
> “Menurut saya acara ini luar biasa. Jarang sekali ada kegiatan kampus yang benar-benar memberi ruang bagi budaya daerah. Di sini kita bukan hanya menonton pertunjukan, tapi juga ikut merasakan kebanggaan sebagai bagian dari Indonesia yang beragam. Ini bukti bahwa budaya daerah itu masih hidup di kalangan anak muda,” ujar Tirta.
Apresiasi tersebut menjadi bukti bahwa Kampung Budaya 2025 berhasil menyentuh sisi emosional penontonnya—membangkitkan rasa memiliki identitas bangsa. Namun, kritik tetap perlu disampaikan sebagai refleksi pembangunan kualitas acara ke depannya. Beberapa bagian program masih terkesan kurang terkonsep secara alur artistik; transisi antar penampilan masih tampak tiba-tiba, dan informasi pengantar budaya sering kali tidak disampaikan secara naratif sehingga pesan budaya kurang tergali secara menyeluruh. Pelestarian budaya idealnya tidak hanya berhenti pada peragaan, tetapi juga pemahaman nilai dan pesan filosofis.
Selain itu, hadirnya UMKM daerah dalam acara ini menunjukkan bentuk keberpihakan terhadap ekonomi kreatif lokal. Sayangnya, keterlibatan pelaku budaya lokal dari luar kampus (seperti seniman tradisi atau budayawan setempat) masih belum terlihat kuat, padahal kolaborasi semacam itu dapat memperkaya kualitas program.
Terlepas dari catatan tersebut, Kampung Budaya tetap memiliki posisi penting sebagai gerakan kultural mahasiswa. Di tengah dominasi budaya populer dan gaya hidup modern yang serba instan, event ini hadir membawa pesan yang kuat: melestarikan budaya bukan sekadar nostalgia, tetapi komitmen masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI