Mohon tunggu...
Bureg Sandeq
Bureg Sandeq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

... manusia gembira bernaluri imajinasi ... jagalah keamanan hati dan pikiran... ...jreeeeeeng...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ani-ani

5 Januari 2014   02:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah sangat lama aku tidak lagi ke desa. Aku sudah merisau rindu dengan nenek. Ingin sekali aku memeluknya ketika ia duduk di beranda rumah sambil menikmati senja. Aku ingin mencium kening dan kedua pipinya yang sudah kering keriput.

Rinduku mulai menurun. Ketika kunikmati bentangan padi yang hijau juga kuning. Gunung yang terhampar di sepanjang mata menyapu alam,  nampak seperti pada gambar yang selalu kubuat ketika pelajaran menggambar bebas kala sekolah dasar. Entah kenapa, pemandangan yang selalu melekat pada ingatanku, hanyalah yang ada dihadapanku sekarang ini. Bayangan kota tak pernah bisa mencumbui kenanganku.

Desa ini menyudut dari pusat keramaian. Tak ada angkutan berpolusi disini, selain kendaraan pribadi yang sangat jarang di temui. Ramainya lalu lalang pedesaan ini hanyalah karena petani yang sedang memanen padinya yang sudah kemuning, membawanya dengan sepeda tua dan mengkayuhnya menyusuri jalan setapak berbatu-batu.

Rumah sederhana itu sudah dapat kulihat dari sini, dari perempatan jalan menuju rumah kuning kecoklatan dari kayu. Bukan rumah yang memiliki pilar-pilar besar dan tinggi seperti yang dimiliki para keturunan bangsawan, tapi ini hanya rumah panggung biasa.

Hatiku berdebar kencang. Tak sabar ingin melihat ibu bersama nenek serta yang lainya di rumah itu. Tapi, dari sini aku melihat depan rumah itu terpasang sebuah bendera. Aku berlari sekencang mungkin dari tempatku berdiri. Rumah itu sudah cukup sesak, beberapa orang sedang membuat sebuah rajutan dari bambu.

**

Tanganku bergetar. Aku taburkan bunga-bunga bercampur irisan daun pandan dari keranjang di atas gundukan tanah yang masih merah basah itu. Menyiramnya tiga kali dari pusara ke bawah. Aku tak menangis. Nenek melarangku untuk menangis. Hanya dalam hati yang terasa sembab dipenuhi linangan kepiluan.

"Nenek menitipkan sesuatu pada ibu sebelum ia sakit"

"Apa bu?"

"ibu akan menunjukkannya padamu. Mari kita pulang"

Seandainya aku kemari sejak bulan lalu, mungkin aku masih bisa mendengar cerita-ceritanya yang bersemangat, mendengarnya berdendang dengan suara paginya, melihatnya memberi makan ayam-ayam yang selalu mengerumuni sekitar kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun