Mohon tunggu...
I Made Nararya Dhananjaya
I Made Nararya Dhananjaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Undiksha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mutiara yang Terlupakan

31 Mei 2022   18:05 Diperbarui: 31 Mei 2022   18:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi

Artikel ini tercipta sebagai hasil dari observasi terhadap dua (2) buah panti asuhan di Kabupaten Buleleng tepatnya Kecamatan Sawan dan Sukasada. Sedikit gambaran mengenai latar belakang panti asuhan dimulai dari berdirinya kedua panti asuhan pada tahun 2000-an. Munculnya inisiatif untuk mendirikan panti asuhan tidak lain dan tidak bukan didasari oleh suatu permasalahan umum yang sejatinya sudah ada sejak dahulu. 

Permasalahan tersebut sempat teratasi melalui campur tangan pemerintah. Regulasi, bantuan material, hingga bantuan moral mampu menekan angka peningkatan permasalahan tersebut, namun berbagai tanggapan dari pemerintah tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi dalam kurun waktu yang lebih lama. Permasalahan yang dimaksud dalam konteks berikut ialah kondisi perekonomian yang kurang merata. Hasil observasi menyebutkan bahwa rata-rata anak asuh yang dibina oleh pihak panti asuhan berlatar belakang yatim, piatu, yatim piatu, hingga lemahnya dukungan financial keluarga. 

Beberapa anak asuh dengan latar belakang yatim atau piatu bahkan sengaja diterlantarkan akibat terlahir dari hubungan di luar status pernikahan. Mereka tidak semestinya diberlakukan sedemikian rupa. Terlahirnya seorang anak tidak pernah terlepas dari hubungan antara seorang ibu dan seorang ayah. Sudah menjadi hukum alam terlahirnya seorang manusia diakibatkan adanya hubungan antara dua orang manusia berlawanan jenis. Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, manusia sejak dilahirkan memiliki hak yang melekat pada dirinya. Hak tersebut bersifat universal serta berorientasi pada kesetaraan dan keadilan setiap orang. Hak tersebut bernaung dalam sebuah hak yang dikenal dengan nama Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu Hak Asasi Manusia yang paling utama bagi kelangsungan hidup seseorang adalah Hak untuk hidup. Apabila seseorang tidak terjamin kehidupannya melalui hak-hak yang memadai, selain mengindikasikan lemahnya penerapan Hak Asasi Manusia juga sebagai salah satu langkah tidak langsung menyia-nyiakan kualitas generasi penerus bangsa serta meningkatkan angka pengangguran di masa mendatang. Pelanggaran terhadap Hak hidup seseorang dimulai dari suatu hal yang sangat kecil. 

Hal tersebut ialah kurangnya pengetahuan terhadap pergaulan bebas. Berawal dari pergaulan bebas yang disalahgunakan, timbullah berbagai macam dampak negatif salah satunya pernikahan usia dini. Berdasarkan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemeterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Agustina Erni mengatakan, Indonesia masuk ke dalam daftar 10 negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Berdasarkan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda (2020), pada 2018 Indonesia berada dalam 10 daftar negara dengan angka absolut perkawinan angka tertinggi di dunia (Deti Mega Purnamasari, 2021). 

Maraknya perkawinan usia dini memicu peningkatan angka anak terlantar di Indonesia dengan mayoritas terjadi di daerah pedesaan. Lemahnya penyebaran informasi serta sosialisasi terhadap pergaulan bebas kembali menjadi dasar meningkatnya angka pernikahan dini khususnya di daerah pedesaan. Beberapa daerah di Indonesia akibat tradisi turut serta memicu pernikahan dini yang pada akhirnya meningkatkan pula angka anak terlantar akibat dari ketidaksiapan kedua belah pihak terkait.

Terlepas dari akar permasalahan terpicunya anak-anak terlantar, panti asuhan datang sebagai wadah aktualisasi diri, pendewasaan diri menuju jalan yang lebih baik. Posisi panti asuhan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara sering dipandang sebelah mata. Mayoritas seseorang di zaman yang semakin maju cenderung memuaskan keinginannya sebelum memikirkan kepentingan bersama. Pemenuhan keinginan individu lebih dominan dibandingkan pemenuhan keinginan bersama dalam tubuh manusia merupakan suatu keadaan yang normal. Dikatakan normal karena manusia selama masa hidupnya memiliki keterikatan dengan ikatan duniawi. 

Manusia selain sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keinginan yang tidak terbatas. Manusia sejatinya menurut prinsip ekonomi memiliki kebutuhan yang tidak terbatas, namun tidak diimbangi dengan alat pemuasnya yang terbatas. Semampu apa pun manusia, Ia tidak akan pernah merasakan suatu kepuasan sebelum mampu berdamai dengan diri dan memulai untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi. Sering kita temukan hampir di setiap persimpangan lampu merah terdapat anak-anak dari balita hingga sekolah dasar melakukan berbagai macam kegiatan dengan dasar mencari uang. 

Tidak jarang ditemukan unsur pemaksaan terhadap anak-anak terlantar sebagai alat pencari uang para oknum tidak bertanggung jawab. Ketulusan serta kebersihan hati anak-anak cenderung memicu rasa kemanusiaan seseorang untuk membantu setidaknya dengan memberi sedekah. Anak-anak terlantar yang dipaksa untuk mencari uang dengan turun langsung ke jalanan, kedepannya dapat menurunkan kualitas anak-anak serta ditakutkan akan menjadi oknum penerus yang dapat mengancam keamanan generasi-generasi berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun