Mohon tunggu...
Ilyas Fauzi
Ilyas Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan pelajar

Sulantara Fauzi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehidupan Agama dan Moralitas

3 Mei 2024   13:35 Diperbarui: 3 Mei 2024   13:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika kita berbicara agama, apa yang ada di pikiran kita sebagai orang awam?

Tuhan? Aturan? Larangan? Perintah? Atau yang lain. Hal-hal yang sudah disebut di atas adalah contoh-contoh dari implementasi hadirnya agama di kehidupan kita. Namun, ada hal yang sering luput dari perhatian kita mengenai agama. Apa itu? Moralitas, kita sering mendengar moralitas ini sebagai nilai universal yang sangat mungkin di semua kebudayaan itu ada. Pertama-tama sebelum kita menghubungkan agama dengan moralitas, kita perlu mengerti apa itu moralitas. 

Moralitas adalah nilai atau norma sosial yang datang untuk mengatur dan mendisiplinkan masyarakat atau secara luas manusia karena tidak melulu civilis yang kita bahas. Moralitas hadir secara universal, tetapi kita tidak jarang menjumpai perbedaan bahkan pertentangan ketika kita membenturkannya antara moralitas satu dengan moralitas lain. Sebagaimana kebudayaan pada umumnya, moralitas berkembang bersama dengan manusia itu sendiri berkembang. Moralitas berbeda dengan hukum, hukum mungkin mengatur secara tegas, tetapi hukum hanya berlaku di masyarakat yang civiliz yang jelas duduk perkaranya serta penuh dengan keadilan menurut rasionalitas masyarakat tertentu. Namun, moralitas bergerak lebih jauh, moralitas berbicara tentang kehadirannya sebagai kebenaran yang melestarikan. Apa maksudnya? Kebenaran yang melestarikan adalah kebenaran yang benar-benar memposisikan manusia di ranah yang baik untuk bertahan, bukan hanya sekadar benar lalu kita tidak mempertimbangkan hal lain. Kedudukan moralitas ini menjadi penting dibawah kedaulatan manusia itu sendiri sehingga sebuah kebudayaan atau bahkan peradaban, ia akan bertahan atau lestari dalam kebaikan ketika kebudayaan atau peradaban itu berbicara tentang moralitas karena secara sadar mereka patuh terhadap etika, nilai-nilai transenden, nilai-nilai yang kita hormati, dll. Bukan soal ketidakadilan secara adat, tetapi ada sikap untuk membawa suatu permasalahan bertransformasi ke arah yang lebih baik. Artinya adalah moralitas itu niscaya untuk eksis dalam kehidupan saat ini yang bahkan telah masuk ke dalam wilayah civilis. Adap dan sopan santun ialah hanya salah satu atau salah dua tentang wujud dari moralitas. Moralitas sebagai konsep ideal diamati oleh banyak kacamata dan dari arah yang berbeda bahkan berlawanan, tetapi moralitas itu tetap memancarkan keberpihakannya kepada kebaikan yang lestari. Keberpihakan tersebut memang sudah menjadi satu kesatuan yang diusahakan oleh manusia agar spesies mereka tetap hidup bahkan lebih jauh lagi ketika kita berbicara tentang idealisme, tidak hanya hidup, melainkan hidup yang bahagia, hidup yang damai, hidup yang sejahtera, dll. Dan hal ini juga berkaitan dengan kehidupan keagamaan yang mengandaikan adanya surga dimana segala ide dan gagasan mengejawantah pada kebaikan bahkan perasaan yang memuaskan manusia itu sendiri. 

Agama, surga dan neraka adalah salah satu dari sekian banyak apa yang dijelaskan dalam konsep beragama. Hidup dan mati menjadi pemisah dunia yang sama sekali berbeda; antara yang nyata dengan yang gaib; antara pengetahuan dan “kebodohan”; antara prasangka dengan post-truth, untuk kemudian kita percaya dengan segala aspek kemanusiaan yang ditampilkan sebagai pembeda dengan makhluk lain. Agama merambah segala apa yang ada dalam manusia, mulai dari rasionalitas, logika, rasa, spiritual, jiwa, raga, bahkan psikis. Boleh dibilang agama adalah satu kesatuan yang sudah lengkap dalam rangka kaderisasi “kebaikan”. Kehidupan beragama saat ini ketika kita menengok ke belakang kemudian membandingkan, mungkin kita akan merasa ada yang berbeda, ada yang hilang, ada yang rusak, dan sebagainya. Sakralitas agama menjadi semakin lemah di atas independensi manusia dalam mengendalikan hidupnya. Segala sesuatu dieksplore dan diinterpretasikan oleh manusia dengan berbagai tujuan yang mungkin manusia untuk membayangkan. Betul, bahkan sekadar bayangan dan angan-angan saat ini manusia menimbang-bimbang untuk menggolongkannya ke dalam kebenaran. Aspek ini sebenarnya secara harafiah sudah ditekankan oleh agama mengenai kegaiban, ketidaktahuan, batas antara kehidupan dan kematian, dll. Agama dengan manusia sekarang menjadi sekuler bahkan dalam mendefinisikan tentang angan-angannya. Bukan berarti kita tidak boleh sekuler, tetapi pengertian sekuler kini menjadi absurd dan hanya terbatas pada pemisahan antara kehidupan manusia di dunia dengan kehidupan agama, padahal ketika kita lebih jauh lagi memikirkannya mungkin saja sekularitas itu menjadi tidak diperlukan, toh hidup kita yang penuh dengan dinamika tetap memerlukan aturan dan moralitas. Nah disini kita menemukan titik temunya. Bagaimana menurutmu tentang agama adalah moralitas itu sendiri? Sebagian orang memisahkannya karena mereka menganggap esensi dari agama itu adalah praktik beragama yang bermacam-macam sehingga kemudian menjadi wajar ketika kita mendukung sekularitas karena ketibetannya atau tidak setuju dengan sekularitas karena iming-iming surga yang notabennya termasuk ke dalam praktik beragama. 

Kehidupan agama, esensi agama, moralitas, menjadi tidak bisa dipisahkan karena moralitas ternyata hadir dari agama itu sendiri. Sebuah agama atau kepercayaan pasti hadir di tengah konflik, hadir di tengah kekacauan, hadir di atas penderitaan sehingga apa yang dibicarakan oleh agama adalah tentang solusi dari duduk perkaranya saat itu, bukan mengenai hukum, okelah memang banyak juga hukum yang dijelaskan dalam ajaran agama, tetapi esensi dari keberagamaan itu sendiri adalah hikmah, moralitas itu sendiri. Seseorang tidak akan membayangkan ada hukum sebab akibat jikalau hikmah itu juga ada. Memukul orang berakibat lebam-lebam, memang terjadi, tetapi hal ini tidak mungkin dipercayai tanpa adanya timbal balik dari hukum sebab akibat tersebut. Seseorang yang lebam-lebam antara dia akan tetap hidup atau dia akan membalas memukul sebab dia lebam-lebam, disana peran moralitas berlaku. Dia akan memukul orang sebagai bentuk pertahanan diri sehingga dia berkonflik yang mungkin tidak ada ujungnya; disisi lain dia tidak akan berkonflik dan kehidupannya damai sejahtera bahkan kemudian secara sadar sebab lebam-lebam kemudian meminta maaf serta berlaku lebih baik kepada korban karena si korban memasukkan moralitas dalam kehidupannya, ia percaya apabila ia menerima dengan ikhlas apa yanh telah terjadi serta bersikap dewasa, ia akan mendapatkan hal yang lebih positif ketimbang memukul kembali si pemukul tersebut. Hal ini juga terjadi di agama, bedanya pada agama ditempelkan budaya-budaya yang pada masanya sangat lekat dengan kehidupan sehingga budaya-budaya tersebut memiliki power yang sama kuatnya dengan moralitas yang ada di dalam agama. Perihal moralitas dan agama kemudian menjadi isu yang menarik untuk dibahas karena keduanya ternyata memiliki pola yang sama dalam menanggapi persoalan hidup manusia. Kebaikan, menghormati, menyayangi, bertanggung jawab, menghargai, dan nilai-nilai kebaikan lainnya adalah bersumber dari agama atau moralitas itu sendiri. Manusia tidak akan mau untuk menghargai dan menghormati tanpa adanya alasan yang kuat untuk bersikap demikian. Secara naluri kehewanan, manusia akan mencari untung, mencari pengaruh, mencari power, mencari kesenangan, dll yang dimana ternyata akal bekerja di ranah tersebut untuk menyukseskan hasrat kehewanannya. Berbeda dengan agama ataupun moralitas, keduanya berbicara tentang nilai-nilai kebaikan yang mampu melestarikan kehidupan manusia itu sendiri, tidak bersifat merusak. Manusia akan rusak oleh hasrat dan akalnya sendiri, tetapi hadirnya agama sebagai sumber moralitas dan hikmah akan mendorong manusia untuk membatasi diri dan berlaku secukupnya sehingga hal-hal mengenai kebaikan yang lestari itu ada. Tidak hanya memuaskan hasrat yang tidak pernah puas, melainkan manusia tidak akan mau berbagi kebahagiaan sebagaimana makhluk lain yang tidak memiliki perasaan atau pikiran untuk berlaku baik menurut moral. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun