Mohon tunggu...
abang redi ilyasa
abang redi ilyasa Mohon Tunggu... -

saya punya motto hidup "yang paling mahal di dunia ini adalah kesederhanaan". sangat suka basket, sepakbola, musik, trekking dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Terbang Ke Ujung Langit

9 Juli 2010   12:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:58 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Mendiang Sepp Herberger akan selalu mengenang hari yang penuh keajaiban itu, saat hujan deras mengguyur Wankdorf Stadion, kota Bern, Switzerland, pada Juli yang dingin tahun 1954. Sebelum putaran final Piala Dunia 1974, kepada Helmut Schonn, sang suksesor, ia berkata,”Sungguh luar biasa rasanya waktu menyaksikan kapten tim Jerman mengangkat tinggi-tinggi trofi Jules Rimet. Rasanya seperti terbang menembus ujung langit.” Schonn yang belum pernah merasakan “terbang menembus ujung langit”, namun pernah merasakan “terbang sampai ke pangkal langit” saat membawa Jerman juara Eropa tahun 1972, menatap lekat-lekat seniornya dan berkata,”Seperti Fritz, Franz akan melakukannya, Tuan Schonn. Dan seperti anda, tanggal 7 Juli nanti saya akan tahu bagaimana rasanya terbang ke ujung langit.”

Helmut Schonn, pada akhirnya menyaksikan kapten tim Jerman (ketika itu Jerman Barat), Franz Beckenbauer, mengangkat lambang supremasi sepakbola dunia itu di Olympia Stadium, kota Munich, Jerman Barat. Die Manschaft berhasil menaklukkan Total Football yang dianggap superior saat itu, dan untuk kali kedua tim yang di Asia lebih dikenal dengan sebutan Der Panzer itu meraih tahta Juara Dunia. “Rasanya seperti mencapai ujung langit !”ucap Schonn dengan penuh antusias. Namun dengan rendah hati Schonn kemudian berkata lagi,”Tapi saya kira, ujung langit yang dicapai Herberger jauh lebih tinggi daripada ujung langit yang saya capai saat ini. Kemenangan kami saat ini memang istimewa. Tapi dimata saya apa yang diraih Herberger dan tim nasional Jerman Barat 1954 tetap lebih spesial.”

Betul apa yang dikatakan Schonn. Sepp Herberger bersama Fritz Walter dan kawan-kawan tidak hanya meraih puncak pada hari yang dikenang dalam sejarah sebagai “The Miracles of Bern” itu. Pada tanggal 4 Juli 1954 itu, Herberger dan anak asuhnya telah mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai pemula dalam tradisi sepakbola Jerman yang gemilang, disaat negara yang pernah dikucilkan karena ideologi Nazi-nya itu dipandang sebelah mata oleh tim-tim lain dalam turnamen tersebut. Bagaimana tidak, Der Panzer mengawali turnamen 1954 dengan kekalahan besar dari Hungaria, yang hingga saat inipun tercatat sebagai kekalahan terbesar kedua bagi tim nasional mereka (Jerman kalah 8-3 pada awal turnamen).

Dilain pihak, Jerman-pun tak memiliki bintang lapangan yang punya reputasi dunia seperti : Ferenc Puskas dari Hungaria, Raymond Kopa dari Prancis atau Valdir “Didi” Pereira dari Brazil, ketika mereka berlaga di Switzerland 1954. Toh Jerman yang underdog sanggup mencapai partai puncak, setelah diantaranya menaklukkan  raksasa Eropa Timur, Yugoslavia, dan seteru jirannya, Austria. Dengan semangat Deutschland Ubber Alles, Fritz Walter dan kawan-kawan kemudian membalas kekalahannya dari Ferenc Puskas dan kawan-kawan pada final yang dramatis, dibawah guyuran hujan deras yang melanda kota Bern. Betapa seru dan kerasnya pertandingan, betapa luar biasanya perjuangan Fritz Walter saat memimpin tim nasional Jerman dalam final tersebut, sampai-sampai publik sepakbola dunia menyebut hujan yang melanda kota Bern sebagai “Fritz Walter Weather”.

Kemenangan Der Panzer pada final Piala Dunia 1954 tersebut kemudian tak hanya tercatat sebagai sejarah bagi negara asal mereka. Kemenangan mereka juga menjadi istimewa bagi publik sepakbola dunia, mengingat pada hari itulah dunia pertamakali memiliki juara baru- setelah sebelumnya trofi Jules Rimet hanya mau singgah di bumi Uruguay dan tanah Italia, semenjak turnamen Piala Dunia pertamakali digelar. Sejarah memang berulang kembali pada turnamen tahun 1958, 1966, 1978 dan 1998, dimana berturut-turut Brazil, Inggris, Argentina dan Prancis mencatatkan dirinya sebagai juara baru dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia. Akan tetapi, setidaknya menurut para pelaku dan pengamat sepakbola, tak ada satupun proses kelahirannya yang sanggup menandingi drama bertajuk “The Miracles Of Bern” itu. Mendiang Fritz Walter sendiri dengan emosional pernah mengatakan bahwasanya, dunia tak akan pernah menyaksikan lagi semangat, keringat, darah dan air mata tertumpah begitu murni dalam suatu pertandingan sepakbola, sebagaimana terjadi dalam final Piala Dunia tahun 1954 itu.

**
Kini, 51 tahun sudah, semenjak drama “The Miracles Of Bern” dipentaskan di kota Bern, Switzerland. Untuk kesekian-kalinya, publik sepakbola dunia akan kembali menyaksikan proses kelahiran juara baru. “De Oranje” Belanda dan “La Furia Roja” Spanyol akan saling berhadapan pada partai puncak, yang sedianya berlangsung di Soccer City Stadium, kota Johannesburg, Afrika Selatan, pada 12 Juli nanti. Siapapun yang keluar sebagai pemenang, sebagaimana tatkala Jerman dan Hungaria bertemu di final Piala Dunia 1954, akan membawa lambang supremasi sepakbola dunia ke negaranya untuk kali pertama. Tentu istimewa bagi Spanyol, istimewa bagi Belanda, namun belum tentu istimewa bagi publik sepakbola dunia.

Sebagaimana 60.000 penonton pernah menyaksikan semangat, keringat, darah dan air mata murni tertumpah di arena Wankdorf Stadion 51 tahun lampau, para penikmat sepakbola dunia masa kini menghendaki final Piala Dunia 2010 berlangsung seru dan menegangkan. Publik sepakbola dunia menginginkan sebuah drama, lakon terbaik, sebagai penutup turnamen yang dengan setia mereka tunggu-tunggu selama 4 tahun. Adalah kekecewaan besar jikalau partai puncak kelak hanya menampilkan “Singa Oranje” yang asal unggul atau “Matador Merah” yang menunggu.

Bila itu yang terjadi bukan hanya publik sepakbola dunia yang dirundung kecewa. Bert Van Marwijk dan Vincente Del Bosque-pun kelak akan menyesal, sebab urung merasakan bagaimana luar biasanya “Terbang Ke Ujung Langit” seperti Sepp Herberger. Ah, semoga saja Van Marwijk dan Del Bosque pernah tahu atau bahkan terinspirasi oleh ucapan yang disampaikan Bapak Sepakbola Jerman itu pada suksesornya, Helmut Schonn. Bukan terpikat oleh ramalan Si Paul, Gurita Cenayang, yang tempo hari dilaknati para pendukung negeri asal Schonn. Mudah-mudahan Van Marwijk dan Del Bosque lebih terkesan dengan ucapan mendiang “Bapak Sepakbola Jerman”, ketimbang was-was atau kelewat percaya diri setelah menyaksikan dari kotak berbendera mana “Gurita Jerman” menyantap sarapannya. Ya, semoga ucapan Herberger menjadi inti semangat Van Marwijk dan Del Bosque menyusun strategi untuk laga final nanti. Walaupun, pada akhirnya, hanya satu dari mereka berdua yang bisa mendapatkan tiket “Terbang Ke Ujung Langit”.(aea)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun