Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Nasib Pertamina di Tahun Politik

21 Mei 2018   06:26 Diperbarui: 21 Mei 2018   08:28 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika PLN mengeluarkan laporan keuangan kuartal I tahun 2018 yang merugi Rp 6,49 T, saya sempat ingin juga melihat laporan keuangan Pertamina. Pas buka website Pertamina ternyata emang gak ada laporan keuangan kuartal I 2018. Dan yang parah lagi, laporan keuangan Pertamina sejak tahun 2015 ternyata posisinya unaudited. Belum diaudit? Kok bisa?

Pertamina sekarang ini masih dipimpin Dirut Plt. Padahal sudah sebulan menjabat, tetapi Dirutnya belum ada. Plt Dirut yang sekarang juga masih rangkap jabatan. Aneh memang Pertamina, pucuk pimpinan tertingginya dalam 4 tahun bongkar pasang mulu. Sudah 3 berarti hingga tahun 2018 ini. Intervensi Menteri BUMN dalam manajemem Pertamina memang luar biasa.

Dan sekarang di tahun politik ini, Pertamina diminta oleh Jokowi untuk tidak menaikkan harga BBM subsidi dan BBM penugasan. Jangankan itu, Jokowi melanggar regulasinya sendiri yaitu Keppres no.191 tahun 2014 dimana untuk BBM umum Pertamina bebas menentukan harga. Kini itupun harus disetujui pemerintah, termasuk harga Pertalite yang sempat dinaikkan Pertamina tanpa persetujuan Pemerintah.

Selama ini, untuk mengakali tidak adanya kenaikan harga BBM subsidi, Pertamina mengurangi secara drastis keberadaan premium, terutama di area Jamali (Jawa Madura Bali). Yang diperbanyak Pertalite, malah sekarang konsumsinya di Jakarta lebih tinggi dari Premium. Kelangkaan premium ini juga menjadi sorotan dan sangat membebani rakyat karena premium gak ada, 'dipaksa' beli pertalite tapi harganya naik terus.

Selain itu, soal BBM penugasan ini juga menjadi dilema bagi Pertamina. Karena gak ada skema subsidinya. Padahal jaminan ketersediaan harus ada, sementara biaya logistiknya sangat besar.

Belum lagi masalah kenaikan harga minyak dunia yang terus meroket. Kini harga crude oil dunia merangkak naik menuju 80 USD/barrel. Padahal setingan harga BBM dalam negeri ketika itu minyak masih USD 40-an/barrel. Yang perlu diingat, impor minyak Indonesia sangat besar, sekitar 250 ribu barrel per hari. 

Tingginya harga minyak dunia ditambah dengan kurs yang kian melemah, menjadi faktor yang akan menguras keuangan Pertamina ketika impor itu. Rupiah hingga kini terus melemah, sudah melewati batas psikologis, kini Rp 14.158

Jadi tak heran ketika bulan April 2018 lalu BPS rilis neraca perdagangan, impor migas menjadi faktor dominan Indonesia defisit hingga USD 1,63 milyar. 

BBM memang menyangkut hajat hidup rakyat. Untuk memenuhinya secara berkelanjutan, kita tentu juga membutuhkan BUMN Pertamina yang sehat, profesional dan transparan, bersih tidak korup. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun