Setiap 17 Agustus, Indonesia merayakan kemerdekaannya dengan gegap gempita. Bendera merah putih berkibar, lagu kebangsaan bergema, dan bangsa ini menyatakan dirinya bebas dari penjajahan. Namun, di balik sorak-sorai itu, ada pertanyaan mendasar yang jarang diangkat: “SUDAHKAH PEREMPUAN INDONESIA BENAR-BENAR MERDEKA?”
Sejarah mencatat, perempuan tidak pernah absen dalam perjuangan kemerdekaan. Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, hingga Dewi Sartika menunjukkan bahwa perjuangan bangsa bukan milik laki-laki semata. Kartini, dengan pena dan pikirannya, menyadarkan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya melawan penjajahan asing, tetapi juga melawan penjajahan budaya patriarki. Perempuan adalah pejuang, pendidik, dan penggerak bangsa. Namun, setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan yang dijanjikan tidak serta-merta sepenuhnya dirasakan oleh kaum perempuan.
Hingga hari ini, perempuan masih menghadapi belenggu diskriminasi struktural. Simone de Beauvoir dalam karyanya The Second Sex menyatakan bahwa perempuan sering dijadikan “yang lain” dalam sistem sosial yang didominasi laki-laki. Konsep ini masih relevan di Indonesia: perempuan sering diposisikan sebagai “pelengkap” laki-laki, bukan sebagai subjek penuh yang merdeka. Dalam ruang publik, representasi perempuan di parlemen, kepemimpinan, maupun sektor strategis masih terbatas. Sementara dalam ruang domestik, banyak ganda terus menjadi realitas: dituntut bekerja sekaligus mengurus rumah tangga, tanpa pengakuan yang setara.
Selain itu, tubuh perempuan masih menjadi ruang yang rentan. Kekerasan berbasis gender, pelecehan, pernikahan anak, hingga eksploitasi tubuh di media menunjukkan bahwa kemerdekaan perempuan sering kali hanyalah ilusi. Data Komnas Perempuan setiap tahunnya mencatat ratusan kasus kekerasan, seolah-olah kemerdekaan yang diproklamasikan bangsa ini belum mampu melindungi separuh warganya.
Kemerdekaan seharusnya berarti kebebasan perempuan untuk menentukan jalan hidupnya: berpendidikan setinggi mungkin, bekerja sesuai passion-nya, menyuarakan pendapat di ruang publik, dan memilih jalannya sendiri tanpa ketakutan. Di sinilah pentingnya kita membaca ulang kemerdekaan, bahwa bangsa ini tidak pernah benar-benar merdeka jika perempuannya masih terikat rantai ketidakadilan.
Dalam teori feminisme, bell hooks menekankan bahwa perjuangan kesetaraan gender bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk membebaskan masyarakat dari sistem penindasan yang merugikan semua pihak. Artinya, perjuangan perempuan adalah perjuangan bangsa. Tanpa perempuan yang merdeka, pembangunan akan timpang, dan bangsa akan terus kehilangan separuh potensinya.
Karena itu, memperingati Hari Kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada seremoni atau lomba, melainkan juga menjadi refleksi: sudahkah negara memberi ruang yang adil bagi perempuan? Sudahkah kebijakan pembangunan memperhatikan suara dan kebutuhan perempuan? Sudahkah arsitektur ruang kita—rumah, sekolah, pasar, hingga ruang publik—ramah bagi perempuan?
Kemerdekaan bukanlah warisan yang statis, melainkan perjuangan yang harus diperbarui di setiap generasi. Dan bagi perempuan, perjuangannya itu masih panjang. Mereka harus terus memperjuangkan ruang, suara, dan haknya.
Maka, 17 Agustus harus kita pahami sebagai panggilan: kemerdekaan bangsa baru akan utuh ketika perempuan Indonesia bisa hidup dengan kepala tegak, tanpa takut, tanpa ditindas, dan tanpa dibungkam.
Merdeka, bukan hanya bagi bangsa. Merdeka, juga bagi perempuan. Dan hanya dengan itu, kata merdeka akan benar-benar bermakna.