Ini bukan cerita. Ini teriakan. Aku adalah Harimau Sumatra, (Panthera Tigris Sumatrae). Tapi gelar "Raja Rimba" itu sekarang terasa seperti candaan yang kejam. Aumanku dulu mengguncang hati hutan. Sekarang, ia seringkali terputus oleh deru mesin yang memotong-motong istanaku.
Kau pikir kami hanya kehilangan pohon? Kami kehilangan rumah. Kami kehilangan jalur kenangan. Kami kehilangan satu sama lain.
Kau tahu jumlah kami? Cuma sekitar 600 ekor. Jangan bayangkan kami berkumpul di satu hutan luas seperti di film. Kami terpecah-pecah, terpenjara di kantong-kantong hutan yang semakin kecil dari Aceh sampai Lampung.
Ini seperti penjara alam. Aku tidak bisa lagi menjelajah untuk menemukan pasangan. Anak-anakku tidak akan pernah merasakan betapa luasnya Nusantara ini. Kami terisolasi. Dan kesepian adalah awal dari kepunahan.
Bukan Konflik, Tapi Perampokan
Kau menyebutnya "konflik manusia-harimau". Itu bahasa yang sangat sopan untuk sebuah pembantaian.
Aku keluar dari hutan karena lapar. Karena rumahku sudah jadi kebun sawit. Lalu aku memangsa kambingmu. Dan balasanmu? Jerat baja yang mencabik leher, atau timah panas yang menghancurkan tulang.
Aku melihat saudariku di Aceh Timur mati dengan jerat melilit lehernya. Aku mendengar cerita saudaraku di Riau yang ditembak hanya karena mencari seekor sapi untuk menyambung nyawa. Setiap kematian adalah sebuah akhir. Tidak hanya untuk satu nyawa, tapi untuk seluruh garis keturunannya.
Ini bukan konflik. Ini adalah konsekuensi dari perampokan yang kalian lakukan terhadap rumah kami. Tapi, di tengah semua keputusasaan ini, ada pemberontak.
Mereka adalah para ranger yang kulitnya lebih kenal terik matahari dan dinginnya malam hutan daripada kasur empuk. Mereka berjalan puluhan kilometer, memotong jerat satu per satu. Mereka adalah pejuang tanpa tanda jasa.
Ada juga masyarakat adat yang bersikukuh melindungi hutan mereka. Bagi mereka, kami bukan ancaman, tapi bagian dari keluarga.Â
"Hilang harimau, hilanglah penjaga hutan. Hilang hutan, hilanglah kami," begitu kata mereka.
Mereka juga menggunakan teknologi. Drone, kamera trap, dan segala macam. Tapi yang paling berharga bukan teknologinya. Tapi keberanian dan ketulusan mereka yang menjadi tameng terakhir antara kami dan kepunahan.
Banyak yang lupa, kami bukan sekadar simbol keperkasaan di logo tim olahraga atau maskot.
Kami adalah penjaga keseimbangan. Jika kami punah, rantai makanan akan kacau. Populasi mangsa kami akan meledak dan menghancurkan vegetasi hutan, yang akhirnya juga akan merugikan kalian.
Melindungi kami berarti melindungi hutan. Melindungi hutan berarti melindungi sumber airmu, udara bersihmu, dan iklim yang stabil. Pada akhirnya, menyelamatkan kami adalah tentang menyelamatkan dirimu sendiri.
Kabar Terakhir & Sebuah Permintaan
Masih ada harapan. Kamera trap masih merekam induk harimau dengan anaknya yang lucu. Itu adalah tanda kehidupan. Tapi itu adalah harapan yang sangat rapuh.
Aku tidak bisa menulis surat. Tidak bisa berdemo di depan istana. Aku hanya bisa mengaum. Dan auman itu semakin lemah. Jadi, aku meminjam suaramu.
Apa yang bisa kau lakukan?
Jadilah konsumen yang cerewet: Tanyakan asal usul produk. Tolak yang merusak hutan.
Beri dukunganmu: Bukan hanya uang. Tenaga, suara, dan perhatianmu untuk komunitas konservasi sangat berharga.
Sebarkan kemarahan yang benar: Jangan diam. Ceritakan pada semua orang tentang kami. Soal jerat, soal sawit, soal saudara-saudariku yang mati sia-sia.
Jika kau diam hari ini, besok anak cucumu hanya akan mengenalku dari tulisan di museum "Harimau Sumatra Punah 2045."
Tapi jika kau bersuara sekarang, mungkin, mereka masih bisa mendengar aumanku bergema menyambut fajar. Biarkan aku tetap hidup. Bukan sebagai dongeng, tapi sebagai penjaga sejati rimba Nusantara.
"Harimau tidak bisa menulis, tidak bisa berbicara dalam bahasa manusia. Tapi kita bisa. Mari jadi suara bagi mereka dengan menjaga hutan, menolak perburuan, dan mendukung konservasi. Karena ketika harimau selamat, manusia pun ikut terlindungi."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI