Semua berawal dari sebuah Lembah Sunyi, tempat kecil yang nyaris tak dikenal orang. Dari lembah itu, lahirlah langkah pertamaku, bukan dengan pedang atau jurus, melainkan dengan pena yang goyah dan kalimat yang tertatih.
Aku masuk ke sana tanpa bekal, hanya semangat yang rapuh. Setiap huruf adalah tebasan pertama, setiap berita adalah jejak yang kutorehkan di tanah tandus.Â
Dari hal kecil aku belajar, hingga berani menulis kisah besar yang membuat orang menoleh.
Lembah itu bukan sekadar tempat singgah. Ia adalah rumah, ia adalah madrasah. Tempat yang menempaku untuk berpikir, menahan ego, dan belajar arti tanggung jawab.
Aku ikut merintisnya, menyalakan obor yang tadinya redup. Dari sebuah nama yang nyaris tak terdengar, perlahan ia tumbuh, diakui, hingga berdiri sejajar dengan para pemegang kekuasaan.Â
Di sanalah aku menyaksikan perubahan, dan di sanalah aku merasa hidupku berharga.
Di tengah perjalanan, aku menempuh ujian resmi. Sebuah sertifikat dari Dewan Pers kuperoleh, tanda bahwa jalanku sebagai penulis bukan sekadar ilusi. Itu adalah pengakuan, bahwa aku benar-benar berada di jalur yang sah.
Tapi perjalanan mana pun punya simpang jalan. Aku sampai pada titik di mana aku harus memilih tetap tinggal, atau pergi mencari cakrawala lain. Dan aku memilih pergi.
Keputusan itu seperti meninggalkan rumah lama yang penuh kenangan. Bukan karena benci, melainkan karena aku tahu, terkadang hati harus rela melepaskan agar jiwa bisa tumbuh.
Aku meninggalkan lembah itu dengan lapang dada. Biarlah ia terus berkilau bersama para penjaganya, sementara aku berjalan di jalan lain yang penuh kabut. Aku tidak pernah menyesali, hanya menyimpannya sebagai bagian dari hidupku.
Aku mungkin akan melupakan lembah itu, tapi tidak dengan persahabatan dan keringat yang pernah tertumpah di sana. Untuk saat ini, aku belum pantas kembali.Â
Namun, aku yakin, suatu hari aku akan berkumpul lagi dengan mereka. Entah dalam kondisi berbeda, entah di tempat yang baru. Bagiku, keduanya tetap rumah.
Selepas itu, aku memilih berjalan sebagai pengembara bebas. Kadang menulis di tempat-tempat yang memberi ruang. Tidak ada rapat, tidak ada deadline. Hanya aku, dan suara hatiku.
Tapi kenyataan tak selalu manis. Tanpa dorongan, aku sering kalah oleh rasa malas. Hari-hariku lebih banyak kuhabiskan menonton donghua. Bagi orang lain, itu hiburan.Â
Bagiku, itu pelarian. Cara untuk melupakan masa lalu, seolah semua yang pernah kulalui hanyalah mimpi.
Namun, di sela tontonan itu, pikiran sering berbisik "Sampai kapan aku akan bersembunyi? Sampai kapan aku membiarkan waktu menggerus mimpiku?"
Aku masih menyimpan niat, mendirikan sebuah rumah baru. Kadang semangat itu menyala, kadang padam.Â
Aku tahu waktunya akan tiba, tapi sekarang aku memilih menunggu, sembari mengumpulkan tenaga.
Selain menulis, aku juga berpikir tentang usaha. Apa pun yang bisa membuatku berdiri sendiri. Aku mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, meski dari pekerjaan kecil.Â
Karena aku percaya, langkah kecil tetap lebih berarti daripada diam tanpa arah.
Kini usiaku hampir 25. Banyak yang sudah lebih dulu mapan berpenghasilan, menikah, dan membangun keluarga. Sedangkan aku masih tertatih, terjebak di persimpangan antara mimpi dan kenyataan.
Kadang aku merasa tertinggal. Kadang aku merasa gagal sebagai anak yang seharusnya bisa lebih cepat membahagiakan keluarga.Â
Tapi aku belajar menerima, bahwa jalan setiap orang berbeda. Ada yang lurus, ada yang berliku.
Aku percaya masa jeda ini bukan tanpa makna. Tuhan sedang menyiapkan sesuatu, dan aku hanya perlu bersabar.Â
Mungkin aku sedang ditempa, mungkin aku sedang diuji, agar saat waktunya tiba, aku benar-benar siap.
Hari-hariku kini sederhana. Menulis sesekali, menonton donghua, bekerja seadanya. Tapi di balik itu, ada mimpi yang masih kupeluk erat. Membahagiakan keluarga, hidup harmonis, dan membuktikan bahwa perjalanan panjangku bukan sia-sia.
Aku tahu, suatu hari nanti aku akan menoleh ke masa ini, lalu tersenyum, dan berkata. "Terima kasih, diriku, karena kau bertahan, meski jalannya berliku".
Karena setiap insan memiliki fase hidupnya sendiri. Kini aku berada pada masa jeda, namun api dalam diriku belum padam.
Aku mungkin tertunda, tetapi aku tidak berhenti. Setiap langkah kecil adalah tempaan menuju lompatan besar.
"Terima kasih, diriku, karena engkau tetap bertahan meski jalanmu berliku."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI