Mohon tunggu...
Ilham Pasawa
Ilham Pasawa Mohon Tunggu... Novelis - ~Pecandu Kopi~

Manusia yang ingin memanusiakan dan dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan prinsip Pak Guru

7 Oktober 2021   00:46 Diperbarui: 7 Oktober 2021   01:07 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sdn4kabat.wordpress.com/2012/10/22/mengajar-dengan-cinta/

Mendidiklah jangan hanya mendikte, ajarilah bukan hanya sekedar bekerja

Nyala rembulan di pucuk langit agak remang. Nyinyir Jangkrik menggema bersahutan. Tanah yang becek menjadi berisik kala terinjak orang yang jalan. Pena di tangan Pak Ramlan tak terhitung sudah berapa kali menilai tugas siswa-siswinya. Dia membaca satu persatu tugas yang dikumpulkan tadi pagi. Sudah hampir dua jam ia berkutat dengan hal itu. Walaupun pekerjaannya sempat tertunda karena membenahi atapnya yang bocor agar air tak bergelimang di lantai, tetapi selesai itu ia kembali melihat tugas-tugas muridnya.

Pak Ramlan hidup seorang diri, ia belum lama diceraikan istrinya. Kabar yang beredar di mulut ibu-ibu penggosip penyebab perceraian Pak Ramlan dan istrinya adalah masalah ekonomi. Masih dari mulut ibu-ibu, Pak Ramlan disebut-sebut cuma dapet penghasilan sedikit dari profesinya sebagai guru. Hati Pak Ramlan mungkin sedang bergejolak belakangan ini, namun hebatnya hal itu tak mengganggu kinerjanya sebagai pendidik.

Pernah di suatu pagi, sepeda motor Pak Ramlan yang sudah tua itu kehabisan bensin saat menuju sekolah tempat ia mengajar. Ia sedang tidak punya uang sama sekali. Akhirnya ia mendorong sepeda motornya sampai sekolah. Di depan pintu gerbang, ia sengaja menaiki motornya itu agar tak dikasihani oleh muridnya. Sampai di sekolah, ia akhirnya meminjam uang kepada teman mengajarnya. Sampai begitu sekali Pak Ramlan, ia tak mau murid-murid itu kasihan dengannya. Dia pernah bilang bahwa seorang guru tak boleh terlihat menyedihkan di depan muridnya, sebab jika murid merasa kasihan pada gurunya, guru itu tak akan mampu lagi memotivasi murid-murid. Luar biasa bukan prinsipnya? Itu belum seberapa. Kamu tahu tidak gaji Pak Ramlan itu berapa? Aku pernah bertanya, tetapi ia enggan menjawab. Akhirnya, menurut ibu-ibu lagi, yang pernah dengan cerita mantan istrinya Pak Ramlan. Pak Ramlan hanya digaji kurang dari satu juta perbulan. Luar biasa bukan apresiasi guru di negara kita? Sangat luar biasa. Aku sangat kagum dengan Pak Ramlan, karena aku adalah salah satu muridnya.

Sebut saja namaku Bentala. Pertama kali berjumpa Pak Ramlan, aku masih menganggapnya seperti guru-guru lain yang hanya sekedar bekerja saja di sekolah, ya bekerja! Bukan mendidik. Tetapi di suatu ketika, saat itu sedang acara LDK di sekolah. Aku melihat Pak Ramlan sedang duduk termenung di bawah pohon beringin, eh mungkin pohon jarak, aku sedikit lupa soal pohonnya, namun itu tak terlalu penting. Pokonya di bawah pohonlah. Ia sedang termenung, kemudian aku yang agak tidak betah di dalam kamar, keluar untuk mencari angin, karena kegiatan pun sedang senggang waktu itu. Aku menyapanya. Ia menyapa balik dan menyuruhku duduk di sampingnya. Aku duduk, dan mulai bertanya 

"Sendirian aja, pak?" Tanyaku.

"Berdua dong sama kamu." Jawabnya tak mau kalah.

Kami berbincang mula-mula hanya terkait kegiatan LDK, namun semakin lama semakin meluas. Luas sekali, bahkan sampai membahas urusan terpenting, yaitu soal prinsip. Ia mengatakan dengan serius namun dengan nada yang pelan, bahwa laki-laki itu dilihat dari prinsipnya, bagaimana cara ia menjalani hidup, bukan rupa apalagi harta. Harta akan habis, rupa akan hancur, namun prinsip akan dibawa mati. Makin kemari, aku baru sadar, bahwa prinsip yang disebut oleh Pak Ramlan adalah agama dan keyakinan. Ia mengatakan bahwa di jaman sekarang, banyak orang yang tidak memiliki prinsip. Orang hanya asal ikut-ikutan yang lagi trend saja. Asal populer pasti ditiru. Menjadi populer sangat digemari, namun menjadi manusia yang prinsip cenderung dihindari. 

Sehelai daun jatuh di muka Pak Ramlan, ia menyibaknya. Daun ia tidak buang. Ia memperlihatkan daun itu padaku.

"Lihatlah daun ini? Ia masih hijau, masih segar. Lalu kenapa jatuh." Tanyanya.

Aku mengangkat bahu seraya berkata, "Takdir."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun