"Ayo semangat, kamu pasti bisa."
Kalimat itu terdengar manis, seolah hadir sebagai pelipur lara. Diucapkan oleh teman, atasan, bahkan keluarga yang niatnya memang ingin mendukung. Tapi di hari-hari tertentu, di saat hidup sedang terasa berat dan semua jalan seperti buntu, kalimat itu justru terasa seperti tamparan. Bukan karena isinya salah, tapi karena tidak semua luka bisa disembuhkan dengan optimisme instan.
Ada hari-hari ketika seseorang hanya ingin didengar tanpa dinilai, ditenangkan tanpa digurui, dan dipeluk tanpa disuruh segera bangkit. Namun di era media sosial yang dipenuhi kutipan motivasi dan poster kebahagiaan, seolah semua orang diwajibkan untuk bangkit secepat mungkin, tersenyum selebar mungkin, dan berpikir positif setiap saat. Seakan kesedihan dan rasa lelah adalah bentuk kelemahan yang harus cepat-cepat dibasmi.
Bayangkan seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan, merasa gagal, dan mulai mempertanyakan nilai dirinya. Alih-alih diberi ruang untuk menenangkan diri dan meresapi apa yang terjadi, dia malah dijejali kalimat seperti "mungkin ini jalan menuju yang lebih baik", atau "pasti ada hikmahnya, jangan terlalu sedih." Kalimat-kalimat itu tidak salah, tapi waktu pengucapannya kadang tidak tepat. Ada perasaan seperti diabaikan, seperti semua kepedihan yang dirasakan dianggap tidak valid karena harus segera ditutupi dengan kata-kata positif.
Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, sebuah kondisi ketika perasaan tidak nyaman ditekan atau disangkal dengan dalih harus selalu berpikir positif. Bukan berarti berpikir positif itu salah, tetapi ketika itu digunakan untuk mengabaikan emosi yang sebenarnya perlu diakui dan dirasakan, justru bisa merugikan. Manusia punya spektrum emosi yang luas, dan semuanya valid. Marah, sedih, kecewa, cemas, semuanya bagian dari pengalaman hidup yang wajar.
Banyak dari kita tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi optimisme. Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak menangis terlalu lama, tidak marah berlebihan, dan jangan terlalu banyak mengeluh. Semua harus serba cepat, bangkit cepat, senyum cepat, pulih cepat. Tapi tidak semua luka bisa sembuh dalam semalam. Tidak semua duka bisa hilang hanya karena disuruh bersyukur. Terkadang yang paling kita butuhkan bukan motivasi, tapi pemahaman.
Saat seseorang sedang hancur dan hanya ingin bercerita, lalu yang didapat malah ceramah tentang berpikir positif, itu seperti menutup luka orang lain dengan selotip warna-warni. Kelihatan rapi dari luar, tapi dalamnya masih berdarah. Kalimat-kalimat motivasi itu sering kali terasa seperti pemotongan proses emosional yang penting. Padahal, ada kekuatan dalam menerima bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.
Masalahnya, dunia yang kita tinggali sekarang lebih nyaman dengan topeng bahagia. Media sosial jadi panggung besar di mana semua orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya. Timeline dipenuhi senyuman, pencapaian, liburan, dan prestasi. Jarang sekali ada ruang untuk kejujuran yang gelap dan kusut. Akibatnya, banyak orang merasa malu ketika sedang terpuruk. Mereka jadi menyembunyikan kesedihannya, memalsukan semangat, dan terus tersenyum padahal hatinya lelah.
Di sinilah bahayanya. Ketika orang-orang merasa harus selalu kuat, maka mereka enggan meminta bantuan. Ketika terus dijejali dengan motivasi kosong, mereka mulai merasa aneh karena tidak bisa langsung bangkit. Dan lebih parahnya, mereka bisa mulai merasa bersalah karena merasa sedih. Ini bukan soal manja atau lemah, ini tentang kehilangan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.
Terkadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk seseorang yang sedang terpuruk bukan memberi nasihat, tapi sekadar hadir. Diam bersama mereka dalam kesedihan, mendengarkan dengan sungguh-sungguh, atau bahkan hanya duduk tanpa berkata apa-apa. Kalimat seperti "aku di sini kalau kamu butuh cerita" bisa lebih menyembuhkan daripada "kamu harus tetap semangat ya."
Kita perlu belajar bahwa tidak semua situasi butuh diselesaikan dengan cepat. Ada luka yang harus dipeluk dulu sebelum bisa disembuhkan. Ada kesedihan yang harus dirayakan dulu sebelum bisa dilupakan. Menjadi pendengar yang baik jauh lebih sulit daripada menjadi pemberi nasihat. Tapi justru di situlah letak empati yang sesungguhnya.