Mohon tunggu...
Ilham Khaliq
Ilham Khaliq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

asal Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Politik dari Kekuatan Pemusnah Massal

20 Desember 2021   13:23 Diperbarui: 23 Desember 2021   17:48 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dukungan itu tidak selamanya baik -- karena bila suatu negara gagal untuk mempertahankan dukungan dari seorang adidaya, maka usaha timbal balik dari adidaya pihak seberang akan membludak dan dalam beberapa hal, bisa mengubah negara itu dalam ukuran ekstrim (contoh paling umum adalah Vietnam Selatan yang merupakan sebuah negara dengan sistem demokratis, di mana ketika AS menarik pasukannya dari Perang Vietnam negara ini hanya bertahan selama dua tahun sebelum ditaklukan Vietcong dan bergabung dengan Vietnam Utara dalam pemerintahan komunis, mengubah sebagian besar tatanan Vietnam Selatan (yang sebagian besar merupakan pemberian AS) yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua puluh tahun. 

Terlepas dari membludaknya aktivitas militer skala kecil di negara-negara tertentu, dan tingginya intensitas kiamat nuklir akibat ancaman perang nuklir antar kedua adidaya, keadaan Perang Dingin membawa kondisi unik dalam peradaban manusia, di mana keberadaan senjata mematikan di kedua belah pihak justru menjamin keberlangsungan perdamaian dalam skala besar -- yang pada akhirnya dapat membawa kejayaan ekonomi kepada beberapa negara saat itu, diantaranya adalah Jepang, Jerman, dan Yugoslavia.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, senjata -- dan perdamaian nuklir sejatinya berdiri paradoks dari keadaan "perdamaian" itu sendiri, karena meski berhasil menghindari perang dalam skala besar (di mana dua perang skala global baru benar-benar terjadi dalam lima puluh tahun terakhir pada saat itu) tingginya intensitas politik kedua adidaya pada saat itu justru malah mengorbankan kekuatan-kekuatan yang lebih kecil, yang seringkali berakhir menjadi konflik militer. 

Terlepas dari usaha pasifis kedua belah pihak adidaya untuk menghindari konfrontasi langsung, ego dan dominasi kedua belah pihak tidak bisa diabaikan bahkan demi alasan kemanusiaan sekalipun -- membuat dominasi adidaya nuklir menjadi ingatan buruk kepada negara-negara yang pernah jatuh di dalam dominasinya (contohnya seperti Indonesia di mana kekuasaan Suharto mendapat sokongan kuat dari AS, sedangkan di saat yang sama melakukan kerusakan di struktur pejabat pemerintahan dengan praktik KKN dan penghilangan kepada aktivis saat itu). 

Meski Perang Dingin dianggap sudah usai dengan bubarnya Uni Soviet pada 1991 tidak membuat aktivitas dominasi kekuatan nuklir benar-benar menghilang -- AS sebagai adidaya tunggal terus meluaskan ambisi politisnya, yang paling terkenal diantaranya adalah Perang kepada Irak di bawah Saddam Hussein (Perang Teluk, 1991), dan invasi yang kemudian diikuti dengan Perang di Afghanistan (2001 -- 2021) dan sokongan terhadap beberapa kekuatan regional, seperti sokongan terhadap Arab Saudi, yang tengah bersaing dengan Iran yang merupakan musuh politis Amerika (posisi yang akhirnya membuat Iran mencoba menginisiasi senjata nuklirnya sendiri -- posisi yang juga diserang oleh AS dan beberapa kekuatan lain) (Bahgat 2007).

Beberapa pendapat membantah konotasi negatif dari partisipasi tersebut dengan anggapan bahwa AS juga membawa nilai-nilai modernisme seperti liberalisme, demokratisme, dan kapitalisme kepada negara-negara yang notabene memiliki indeks rendah dalam nilai-nilai tersebut, dan paritisipasi mereka diharapkan dapat membawa negara bersangkutan kepada perdamaian dan standar yang sama dengan negara-negara yang sudah lebih stabil dan baik keadaannya di bawah AS (misal seperti negara-negara Eropa, Jepang dan Korea Selatan). 


Pendapat tersebut bukannya tiada salah -- karena dalam catatan partisipasi mereka tidak selamanya menunjukan hasil yang baik (baik itu partisipasi di era Perang Dingin atau sesudahnya) di mana justru malah menghasilkan efek sebaliknya -- banyak negara-negara "bentukan" AS gagal untuk memberikan hasil yang diharapkan oleh tatanan dunia modern, membawa noda dan ingatan kelam atas partisipasi internasional Amerika Serikat sejak Perang Dingin (di mana kasus paling baru di Afghanistan, di mana partisipasi AS telah mengeluarkan dana triliunan dolar untuk membangun kembali Afghanistan, membuat pemerintahan yang demokratis dan efektif, dan membiayai angkatan bersenjata Afghanistan untuk bisa mempertahankan kedaulatannya, hanya untuk tetap bertahan selama seminggu dalam serangan musuh ketika AS pergi).

Berbeda dengan kedua adidaya, kekuatan nuklir selanjutnya -- Britania Raya, Perancis dan Daratan Cina cenderung menghindari konflik kepentingan langsung yang disebabkan oleh persaingan persenjataan dengan memproduksi senjata nuklir secara "secukupnya". Persenjataan nuklir mereka adalah lebih untuk sebagai upaya pembalasan nuklir, menguatkan posisi mereka dalam geopolitik internasional meski tidak sekuat kedua adidaya. 

Meski arsenal persenjataan mereka tidak sebanyak kedua adidaya, pasokan mereka cukup untuk memastikan bahwa serangan nuklir atas mereka akan menelan biaya yang sangat mahal, baik itu secara materiil maupun politis. Ini juga yang tampaknya menjadi alasan proliferasi senjata nuklir Korea Utara. 

Terlepas dari posisi geopolitik negara ini yang tidak begitu banyak menguntungkan kepentingannya (Korea Selatan dan Jepang adalah sekutu dekat Amerika Serikat, musuh politik Korea Utara) (Barnaby 2005), usaha proliferasi mereka selain sebagai usaha pembalasan namun juga memiliki nilai propaganda: rezim Korea Utara perlu menunjukan kemampuan mereka untuk justifikasi cara mereka memerintah kepada rakyat mereka, dan di saat yang sama menunjukan bahwa Korea Utara tetap bisa bertahan dengan segala sanksi yang diberikan pihak asing (terutama AS) terkait isu kemanusiaan yang menyelimuti sang rezim (Solingen 2010). 

Melihat konteks geopolitik regional setempat, sejatinya posisi proliferasi Korea Utara juga menguntungkan Daratan Cina -- sebagai salah satu sekutu dekat Korea Utara sekaligus menjadikannya sebagai daerah penyangga (buffer zone) dari Korea Selatan, di mana hubungan rezim Daratan dengan Amerika Serikat yang sangat fluktuatif -- meski tidak selamanya rezim Daratan menyetujui aktivitas proliferasi Korea Utara, terlihat dengan ikutsertanya Daratan Cina terhadap sanksi PBB atas Korea Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun