Di jantung hutan Sumatera yang diselimuti kabut tropis, sosok loreng bergerak pelan hampir tanpa suara. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah penjaga terakhir dari tiga subspesies harimau yang dulu berkeliaran di nusantara. Ia bukan sekadar satwa, melainkan detak ekosistem, pengatur rantai makanan yang menjaga hutan tetap seimbang. Sebagai predator puncak, kehadirannya mencegah populasi mangsa seperti rusa dan babi hutan merusak vegetasi secara berlebihan. Singkatnya, sehat tidaknya hutan Sumatera bisa diukur dari keberadaan harimau.
Sayangnya, suara aumannya makin jarang terdengar, tergantikan oleh deru mesin dan pembangunan. Statusnya kini masuk kategori Critically Endangered menurut IUCN, satu langkah lagi menuju kepunahan total. Angka populasi yang beredar pun simpang siur, ada yang menyebut sekitar 600 ekor bahkan 400 ekor. Perbedaan data ini sebenarnya mencerminkan betapa sulitnya menghitung satwa yang sudah sangat sedikit dan terpecah belah habitatnya. Setelah harimau jawa dan bali hilang selamanya, kini harimau sumatera berdiri di ambang nasib serupa. Ilmuwan bahkan memperkirakan, tanpa upaya serius, spesies ini bisa punah dalam seratus tahun ke depan. Pertanyaannya, apakah kita cukup peduli dan cerdas untuk menyelamatkannya?
Masalah utama berawal dari hilangnya hutan secara masif. Habitat alami harimau tergerus perkebunan, terutama kelapa sawit. Pada 2019 saja, lebih dari 148 ribu hektare hutan lenyap. Bagi harimau, ini berarti wilayah jelajah yang semakin sempit, mangsa yang makin sedikit, dan sumber air yang hilang. Akibatnya, konflik dengan manusia makin sering terjadi. Harimau yang kehilangan rumahnya masuk ke desa, menyerang ternak, bahkan dalam kasus tertentu melukai manusia. Dalam 15 tahun terakhir tercatat lebih dari seribu konflik manusia dan harimau.
Di tengah situasi itu, perburuan ilegal semakin memperparah keadaan. Harimau diburu bukan untuk makan, tapi untuk pasar gelap internasional. Alat yang paling mematikan adalah jerat kawat, yang tak hanya menjerat harimau, tapi juga satwa mangsanya. Dalam dua tahun, lebih dari 3.000 jerat ditemukan oleh tim konservasi. Penegakan hukum yang lemah membuat rantai perburuan ini terus berlanjut.
Namun di tengah ancaman itu, secercah harapan muncul lewat inovasi. Teknologi kini menjadi senjata baru konservasi. Dengan kombinasi antara kecanggihan digital dan dedikasi para penjaga hutan, harimau sumatera masih punya peluang untuk bertahan. Tiga teknologi utama yang mulai banyak dipakai adalah drone & satelit, kalung GPS, dan kamera jebak berbasis kecerdasan buatan (AI camera).
Mata dari Langit: Drone dan Satelit
Bayangkan hamparan hutan tropis Sumatera yang luas dan sulit dijangkau manusia. Dulu, memantau ribuan hektare hutan butuh waktu berbulan-bulan dengan berjalan kaki. Kini, dengan drone dan satelit, peta hutan bisa dipantau hampir seketika.
Satelit beresolusi tinggi mampu menangkap perubahan tutupan hutan dari waktu ke waktu. Ketika ada lahan terbuka baru, tim konservasi bisa segera tahu apakah itu deforestasi legal atau perambahan liar. Data ini sangat krusial, karena hutan yang hilang berarti habitat harimau ikut menyusut.
Drone menambah detail yang tidak bisa ditangkap satelit. Dengan kamera beresolusi tinggi, drone bisa terbang rendah memantau aktivitas manusia di hutan, seperti pembalakan liar. Ada juga drone dengan sensor termal yang mampu mendeteksi panas tubuh, berguna untuk menemukan titik api kebakaran sebelum menjalar luas. Teknologi LiDAR yang dipasang pada drone bahkan bisa memindai hutan dalam bentuk 3D, membantu merencanakan reforestasi yang lebih tepat.
Contohnya di Taman Nasional Kerinci Seblat, kawasan konservasi terbesar di Sumatera. Drone digunakan untuk mendeteksi pembukaan lahan ilegal. Dengan data citra udara, petugas bisa bergerak cepat menuju lokasi, dibanding menunggu laporan manual yang sering terlambat. Bahkan, beberapa LSM konservasi bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk menyediakan akses citra satelit gratis bagi pemantauan hutan kritis.