Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Berorientasi Duit saat Berteater

28 Maret 2022   23:53 Diperbarui: 29 Maret 2022   00:12 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Para seniman teater Koma. Foto: KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES

Berteater itu belajar hidup. Berteater itu mengeluarkan uang. Berteater itu bermanfaat untuk jalan hidupmu, tapi bukan untuk jalan kekayaanmu.

Setidaknya itulah yang bisa aku tulis tentang teater. Hampir lima tahun berteater di masa lalu, aku tak pernah untung secara materi. Apalagi teater sampai jadi sandaran hidup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentu tak bisa.

Berteater dalam arti berpentas, memerlukan waktu yang lama. Dulu, aku mengarungi bersama teman-teman. Memilih naskah, lalu membedah naskah itu. Membedah naskah dari banyak sudut pandang.

Membedah naskah untuk mengetahui apa yang dimaui dari naskah itu. Lalu mau seperti apa kita mementaskan naskah itu.

Setelah para pemain terpilih, maka membaca naskah dilakukan. Tiap sore kami lakukan membaca naskah sembari duduk. Ketika naskah sudah terserap, maka mulailah latihan dengan panggung. Mulailah bergerak, berimprovisasi, sadar panggung dan lainnya.

Tiap malam, latihan untuk pementasan dilakukan. Bisa sampai tiga pekan latihan pementasan dilakukan dalam tiap malam. Di situ emosi bertarung, gesekan antarpemain atau pemain dan sutradara pun terjadi.

Yang tak kuat, mereka bisa terpental. Oiya, belum lagi antara pemain dan pemusik, bisa saja saling debat dan bahkan banting kursi.

Proses yang secara fisik dan emosi yang bisa sangat melelahkan. Jangan kaget jika teriak dan tangis berhamburan dalam berproses sebelum pementasan.

Semua itu dilakukan petang sampai malam hari dalam rentang waktu sebulan. Selama itu pula, konsumsi patungan. Makan dan minum seadanya. Puntung rokok pun boleh.

Jika akan pentas, maka promosi dilakukan dengan terbatas, melalui selebaran dan pembebasan. Zaman itu belum ada media sosial. Jadi promosi tak bisa masif.

Jika sudah pentas, yang nonton tak sampai 100 orang. Sebagian besar juga komunitas teater lain yang mendukung dan mengkritisi.  Jadi, dengan realitas itu, jangan harap teater bisa memenuhi kebutuhan ekonomimu.

Tentu ini adalah kesimpulan berdasarkan pengalaman pribadi. Jika ada komunitas teater yang bisa menghidupi perekonomian anggotanya, ya mungkin saja. Toh hidup tak selalu satu pandangan kan?

So, daripada memandang teater sebagai industri pertunjukan, aku lebih suka memandang teater sebagai tempat belajar hidup.

Dengan teater, maka kepekaan kita diasah. Jika kita berperan sebagai orang jahat, maka harus sepeka mungkin sebagai orang jahat. Jika kita jadi pahlawan, sepeka mungkin jadi pahlawan.

Saat di panggung kita harus peka dengan lawan main. Bagaimana gerak lawan main dan kita harus bagaimana. Tak bisa sesuka hati mengeksplorasi diri dengan mengabaikan lawan main, tentu kecuali monolog.

Berteater memperkaya pengetahuan, bahkan spiritualitas. Berteater adalah belajar hidup, belajar berproses, yang akan dipetik buahnya tiap hari dalam kehidupanmu. Tentu bukan dalam bentuk uang.

Dan memang, hidup tak selalu melulu tentang uang, dan untung rugi materi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun