Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bang Ipul, KPI, dan Merenungi Ketidakpatutan

11 September 2021   06:40 Diperbarui: 11 September 2021   06:41 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saiful Jamil. FOTO: Kompas.com/Tri Susanto Setiawan

Manusia hidup memiliki ketidakmampuan dan kemampuan. Tapi, karena alasan kemanusiaan, kita tak serta merta melakukan apa yang mampu kita lakukan. 

Apa ketidakmampuan manusia? Ya banyak sekali. Misalnya, secara rasional kita tak bisa terbang tanpa alat bantu. Kita tak bisa terbang seperti burung. Walaupun kita, khususnya lelaki, dituding memiliki burung, tetap tak bisa terbang seperti burung.

Lalu, apa kemampuan manusia? Ya banyak sekali. Tapi, tidak semua kemampuan itu patut dilakukan karena alasan kemanusiaan.

Kita, secara umum mampu memukul sesama. Kita, dengan tangan kita mampu memukul sesama. Tapi secara umum kita tak patut melakukannya.

Tidak patut kiranya, Anda misalnya, tanpa alasan, langsung melakukan pemukulan pada sesama. Bahkan, dengan alasan pun, Anda tetap tak patut melakukan pemukulan pada sesama. Kecuali kalian menjadi petinju profesional di atas ring.

Kenapa kita tak memukul sekalipun kita bisa memukul? Ya karena kita tahu batas kemanusiaan.  Batas kemanusiaan itu harusnya jadi batas mutlak. Untuk alasan apapun (kecuali olahraga tinju), kita tak boleh memukul sesama. 

Semisal Anda diberi uang Rp 1 miliar untuk memukul sesama, maka atas nama kemanusiaan, Anda tetap tak patut melakukannya. Terlalu rendah seorang manusia dibeli hanya untuk melakukan sesuatu yang melebihi batas kemanusiaannya.

Bukan hanya memukul yang tak patut kita lakukan. Mencela yang lain pun tak patut kita lakukan, sekalipun kita bisa mencela. Berbohong pun tak patut kita lakukan, sekalipun kita bisa berbohong.

Ketidakpatutan itu harusnya mutlak. Diiming-imingi apapun, kita harusnya tetap tak mau melakukan ketidakpatutan.

Lalu soal Bang Ipul Itu...

Namanya Saiful Jamil, tapi beken dipanggil Bang Ipul. Pedangdut ini baru saja bebas setelah terjerat kasus pencabulan. Saat bebas, dia disambut luar biasa. Ada acaranya juga di televisi. Inilah yang kemudian memantik protes banyak orang. Kata banyak orang, masa ada perayaan bebas pada orang yang kena kasus pencabulan?

Lalu bagaimana KPI? Komisi Penyiaran Indonesia yang tugasnya ngawasi TV itu mengatakan, Bang Ipul bisa masuk TV untuk memberi edukasi bahaya kekerasan seksual. Komentar KPI melalui ketuanya ini langsung disambar warganet. Protes muncul ke Ketua KPI. Salah satu yang saya baca, masa edukasi bahaya kekerasan seksual diungkap oleh pelaku kekerasan seksual?

Saya juga tak sepakat jika orang yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan disambut sebegitu rupa dan masuk ke ranah publik melalui televisi. Apalagi sampai dikalungi bunga. Kan lucu juga. Lain ceritanya, kalau mereka yang baru bebas dari lembaga pemasyarakatan hanya disambut keluarganya dan tangis haru bahagia karena lama tak bertemu dan tak muncul di televisi, saya pikir tak masalah.

Sekali lagi yang saya tak sepakat, Bang Ipul yang bebas dari penjara dipublikasikan dengan kalungan bunga, mirip seperti juara. Bagi saya itu tidak patut. Tak patut mempublikasikan melalui media publik menyambut Bang Ipul seperti itu. Harusnya atas nama kemanusiaan, tahan diri agar tak memperlakukan Bang Ipul seperti itu. Harusnya atas nama kemanusiaan, tahan diri agar Bang Ipul tak menonjolkan diri seperti itu.

Bolehkan Bekas Penjahat Jadi Motivator atau Pendakwah?

Kalau pertanyaan seperti itu, akan saya jawab boleh. Namun, harus ada waktunya. Tidak bisa seseorang yang kemarin jadi penjahat, hari ini langsung jadi pendakwah. Harus ada waktu yang dilakukan eks penjahat itu. Waktu yang dilakukan untuk membuat rekam jejak yang baik, diterima masyarakat sepenuhnya, dan kemudian mengajak kebaikan.

Semakin berat kejahatan yang pernah dia lakukan, maka semakin berat dia meyakinkan masyarakat. Semakin berat kejahatan yang dia lakukan, maka semakin berat dia membuat rekam jejak kebaikan.

Istilahnya, mereka yang melakukan kejahatan tingkat berat, maka harus berbuat kebaikan berlipat-lipat untuk meyakinkan masyarakat bahwa dia sudah berubah. Membuat kebaikan berlipat-lipat itu membutuhkan waktu.

Jadi, seorang mantan penjahat bisa saja jadi motivator. Tapi, dia harus bisa membuat rekam jejak yang baik sehingga bisa diterima masyarakat. Tidak tiba-tiba dari penjahat kemudian jadi motivator. Itu tidak patut, nanti malah jadi bahan lelucon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun