Aku sudah lelah hidup dengan telepon genggam. Aku merasa lebih banyak sampah di HP daripada manfaatnya. Hidup juga merasa terganggu karena harus ngurus pesan ini dan itu. Pesan yang aku pikir tak penting.
Aku membulatkan tekad untuk tak lagi memakai HP. Lagian, saat ini aku hidup sebagai pekebun dan sudah banyak orang paham hasil panenku. Sepekan sekali, para pembeli datang ke rumah, tanpa aku tawarkan.
Intinya, usahaku sudah seperti mesin, sudah bekerja mekanik. Memang hasilnya tak banyak, tapi cukup untuk hidup tenang sekeluarga. Maka, aku memutuskan tak lagi memegang telepon genggam. Istriku karena mungkin sudah menyatu denganku, juga memutuskan tak lagi memiliki HP.
HP kami buang di kali. Sebagai ekspresi kebencian kami. Anak-anak yang masih SD pun terpaksa terbiasa tanpa HP. Ada kebaikan luar biasa menurutku. Aku jadi punya waktu untuk sekadar bersilaturahmi dengan tetangga. Aku jadi lebih tahu masalah ekonomi tetangga lebih detail.
Kadang, jika rezeki lebih, aku beri ke tetangga. Aku merasa nyaman dengan hidup tanpa HP. Jadi, benar juga kata seorang pesohor, bahwa HP memang merusak.
Anakku, juga lebih sering bermain dengan temannya. Anakku juga lebih bisa belajar. Tak ada lagi video yang mereka buru di telepon genggam. Aku merasa bersyukur sekali bisa lepas dari HP.
Hidup tenang di pinggiran kota, dengan rezeki yang pas, bisa berbaur dengan tetangga lebih baik, dan aku tak terganggu dengan ini dan itu yang muncul dari HP.
Istriku juga merasa lebih tenang, lebih bahagia tanpa HP. Aku pikir, ini adalah keputusan yang tepat.
Sampai enam bulan aku tanpa HP, aku merasa lega. Selega leganya. Hingga kemudian, Kang Tarsim, saudara sepupu yang jauh dari tempat hidupku datang ke rumah.
Kang Tarsim terlihat kelimpungan datang ke rumahku. Begitu melihatku segar bugar, Kang Tarsim terlihat lega. Tapi kerutan di wajahnya tetap terjaga. Tanda bahwa dia menyimpan tanya.
Aku siapkan kopi dengan tembakau yang dia suka. Dia tarik asap itu dalam-dalam di tengah siang yang cukup terik, dengan keringat yang bercucuran. Oiya rumah Kang Tarsim sangat jauh. Jika dari rumahnya ke rumahku, maka menempuh waktu empat jam memakai sepeda motor. Dulu aku hidup bersama Kang Tarsim setelah bapak ibu meninggal. Sampai kemudian, aku hidup di tempatku saat ini.