Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Memburu Layang-Layang Putus?

13 Maret 2021   06:00 Diperbarui: 13 Maret 2021   06:07 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. foto kompas.com/dhanang david aritonang

Dahulu, saat saya masih kecil, memburu layang-layang putus adalah hobi. Saya dan teman-teman berlarian tak keruan. Yang mengkhawatirkan banyak orang adalah, kami anak kecil, berlari kencang sembari mendongakkan kepala. Sebab, dengan mendongakkan kepala, kami tahu ke arah mana layang-layang akan jatuh.

Tak sedikit dari yang khawatir itu menyuarakan pandangannya. Kadang dengan nada jengkel. "Layang-layang kan bisa dibeli, apalagi murah. Kenapa harus berlarian memburu layangan putus," kira-kira begitu kata mereka yang jengkel.

Tak salah jika ada orang yang jengkel dengan cara anak-anak dahulu mendapatkan layang-layang. Tak salah karena yang jengkel itu juga mengkhawatirkan keselamatan kami. Mereka juga mengkhawatirkan pengendara yang bisa kesulitan melaju ketika ada sekelompok anak berlarian di jalan untuk memburu layang-layang.

Saat masih kecil, ada konsepsi dari kami. Memburu layang-layang yang putus itu adalah sebuah kepuasan luar biasa. Ada kompetisi di situ. Ada juga melatih kecepatan, kecermatan, dan menebak ketidakpastian.

Jika layang-layang bergerak tak cepat setelah putus, itu berarti angin memang tak kencang. Imbasnya, harus sabar mendeteksi ke arah mana layang-layang akan jatuh. Jika angin bertiup kencang, maka layang-layang akan cepat jatuh dan kami harus cepat berlari.

Mereka yang berkompetisi fair, akan menerima jika layang-layang putus dan jatuh itu didapatkan satu orang anak. Anak yang lain akan menerima. Tapi bagi mereka yang tak fair, ketika layang-layang baru saja diraih satu tangan, langsung direbut dan dirobek.

Aku tentu saja pernah mendapatkan layang-layang putus. Kala itu, mendapatkannya ketika layang-layang jatuh di belakang rumah. Areanya tentu hanya aku yang paham, sementara teman-teman tak terlalu paham.

Ini soal cara pandang anak kecil, yang tentu saja ada baiknya. Tapi, mereka yang memprotes cara anak-anak berburu layangan yang membahayakan nyawa itu juga ada benarnya. Orang tua yang khawatir pada anak-anak yang berlarian tak keruan memburu layang-layang juga ada benarnya. Ada dialektika di situ. Dialektika soal realitas layang-layang. Ya begitulah.

Kini, sepertinya tak muncul secara masif dialektika itu. Kenapa? Lha, lihat anak bermain layang-layang saja sudah jarang. Apalagi sampai berlarian memburu layang-layang putus. Jadi, orang tua tak perlu sibuk khawatir anak-anak lari kencang sambil mendongakkan kepala melihat layang-layang. Baikkah kondisi sekarang daripada dahulu? Ah aku tak mau menjawabnya, biarkan kita memiliki kesimpulan sendiri-sendiri untuk kebaikan bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun