Setiap kali kaki saya melangkah masuk ke Gramedia, niat awalnya selalu sederhana: hanya ingin melihat-lihat. Tapi entah mengapa, begitu keluar dari pintu toko, di tangan selalu ada kantong berisi buku baru.Â
Rasanya seperti ada magnet yang menarik, seolah mustahil pulang dengan tangan kosong.Â
Fenomena ini tentu bukan saya saja yang mengalaminya. Banyak orang pernah bersumpah, "Cuma lihat-lihat kok," tapi akhirnya tak kuasa menolak pesona rak-rak yang penuh warna.
Suasana Gramedia memang punya daya tarik tersendiri. Begitu masuk, aroma khas buku baru langsung menyergap, menghadirkan perasaan hangat sekaligus tenang.Â
Rak-rak tinggi yang tertata rapi, spanduk promosi dengan tulisan "diskon besar-besaran", atau sekadar melihat pembeli lain yang asyik menelusuri halaman buku, semuanya membentuk atmosfer yang sulit ditolak.Â
Ada semacam ritual kecil: berjalan menyusuri lorong, membuka lembar demi lembar, lalu berakhir di kasir.
Saya sering bertanya dalam hati, apa sebenarnya yang membuat orang begitu sulit menahan diri? Apakah ini sekadar kebiasaan konsumtif, atau memang ada ikatan emosional yang lebih dalam antara pembaca dan buku?Â
Pertanyaan ini terasa penting, apalagi ketika tumpukan buku yang sudah dibeli ternyata belum semua sempat dibaca.
Fenomena kecil ini sesungguhnya merekam sisi lain kehidupan kita sebagai pecinta buku: rasa lapar akan ilmu, keinginan untuk selalu tahu, dan kebahagiaan sederhana ketika menemukan judul yang seakan berbicara langsung kepada kita.Â
Gramedia, dalam hal ini, bukan sekadar toko. Ia adalah ruang yang menghadirkan pengalaman personal sekaligus kolektif tentang literasi.