Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup yang Dikejar-kejar

11 Desember 2020   19:39 Diperbarui: 11 Desember 2020   19:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku merasa selalu ingin mengharapkan tentang ketenangan, kedamaian. Pada satu masa ketika riuh di kepala membuncah, aku mendengar panggilan Tuhan kala petang. Aku tak bergegas datang, karena riuh di kepala itu bukan main penatnya.

Di masa itu, aku menginginkan satu masa ketika aku bisa datang ke rumah Tuhan dengan tenang. Aku selalu menunggunya. Benar-benar merindukannya. Aku berkhayal, di tengah petang yang tenang, aku bisa mengulang cerita kecilku. Bersurau ria.

Kepala yang penat itu seperti sumbu petasan. Berjalan cepat untuk meledak. "Ini belum selesai... itu juga belum tuntas...besok masih ada anu...si dia sedang apa," kira kira seperti itu yang ada di kepala.

Harus menyelesaikan ini, menanggapi itu, berhadapan dengan anu, dan seterusnya. Jujur aku tak pernah menginginkannya. Tapi jika aku berhenti dari hidup yang dikejar-kejar itu, asap dapurku akan seperti kereta kekurangan bahan bakar. Ah, sial sekali.

Aku tidak sedang berbohong. Satu masa aku benar-benar punya banyak waktu. Aku merasa tak dikejar-kejar. Aku rileks. Tapi tiap hari di telingaku seperti ditabuh genderang perang. "Sebentar lagi susu habis," katanya. Itu artinya harus ada rupiah yang didapatkan.

Akhirnya kembali berburu. Menemui hal yang tak dirindukan. Kembali hidup yang berkejar-kejaran. Melelahkan. Kadang aku berpikir omongan, Seno Gimira itu. Kalau tak salah omongannya dia.

Intinya, hidup dengan penat lalu lintas, bergumul dengan kemacetan, lalu pensiun dengan uang tak seberapa. Aku pun yakin banyak yang tak menginginkannya. Hidup dikejar waktu, kemacetan, dan menjemput renta yang mengenaskan.

Tapi, sebagian kita memang tak memiliki banyak pilihan. Pilihan terlalu sedikit karena tak punya banyak senjata. Bahkan ada yang terjebak tak punya pilihan sama sekali. Hidup hanya monoton, ya karena tak ada pilihan selain monoton.

Awal-awal aku membaca tulisan Seno Gumira itu, aku mengiyakannya. Tapi lama kelamaan, aku malah tak mau lagi bicara soal itu. Karena sekali lagi, sebagian dari kita ada yang hidup tanpa opsi. Hidup hanya untuk dikejar-kejar. Dikejar ke sana ke mari, hingga rindu pada petang yang syahdu itu hanya menjadi penantian yang pilu.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun