Beberapa hari lalu saya menulis tentang kronologis yang mendua dalam kasus tewasnya enam anggota FPI. Kini, saya mau menulis tentang FPI bersama Imam besarnya, Rizieq Shihab dan pemerintahan Jokowi. Bagi saya, ini cerita yang melelahkan. Sungguh melelahkan dan sebenarnya tak perlu bagi orang awam seperti saya.
Entah sejak mulai kapan Rizieq Shihab dan FPI-nya mulai rutin menyerang pemerintah. Mungkin sejak kasus penistaan agama yang menyeret Ahok beberapa tahun lalu itu. Mungkin itu, tapi tak tahu juga. Yang pasti, intensitas permusuhan FPI dengan pemerintahan Jokowi cukup tinggi.
Narasi bahwa pemerintahan Jokowi yang mengkriminalisasi ulama juga muncul. Intensitas "peperangan" yang tinggi ini tak saya lihat ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahwa sekali waktu FPI menyerang pemerintahan SBY, itu memang pernah saya dengar. Tapi tak seintensif yang dilakukan FPI pada pemerintahan Jokowi.
Padahal, di masa pemerintahan SBY itu, Rizieq Shihab pernah dibui. Narasi kriminalisasi ulama tak muncul di masa SBY. Jika pun muncul, seingat saya tak segencar di masa Jokowi. Soal perbedaan FPI di masa pemerintahan SBY dan Jokowi, saya pikir yang paham ya orang yang ada di lingkugan itu. Â
Sekarang dengan kondisi FPI vs pemerintahan Jokowi, saya pikir tak akan selesai tuntas. Sebab, kedua kubu memiliki noda masing-masing. Pemerintah ingin tegas pada kerumuman RS, toh faktanya banyak kerumunan lain yang tak diproses? Di sisi lain, stigma bahwa FPI adalah organisasi yang menonjolkan kekerasan juga muncul. Bahkan, pernyataan-pernyataan yang kasar pun muncul dan jadi bahan kampanye untuk melawan Rizieq Shihab.
Borok pemerintah dan FPI pun diumbar dari kubu yang berlawanan. Belum lagi para pendukung itu. Yang mendukung FPI menyerang borok pemerintah. Yang mendukung pemerintah menyerang borok FPI. Ada yang menyerang terang-terangan. Ada yang menyerang dengan dalil objektivitas yang tetap saja subjektif.
Itu yang mendukung. Belum lagi yang punya kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya. Mereka yang punya kepentingan  politik, ekonomi, dan lainnya sangat bisa memanfaatkan momen permusuhan FPI dan pemerintahi Jokowi. Ini adalah panggung yang bagus. Ibaratnya, panggung dibuat orang lain, dia yang bernyanyi di situ. Ada juga yang asal njeplak ngomong sana sini ikut menyerang membabi buta dengan kata-kata.
Intinya, tak ada yang sempurna. Ketika tak ada yang sempurna, maka akan ada boroknya. Bahkan borok permanen yang tak akan bisa dihapus oleh zaman. Kalau borok masing-masing pihak itu terus dieksploitasi, ya hanya akan muncul kebencian yang berlapis-lapis. Â
Situasi seperti sekarang ini jelas tidak produktif dan melelahkan. Orang yang tak melakukan apapun bisa kena imbasnya hanya karena berkomentar. Maka, saya pun sepakat jika ini diselesaikan saja dengan cara yang baik-baik.
Cara baik-baik melalui hukum atau cara baik-baik melalui diskusi atau bicara empat mata. Sekali lagi, bagi orang awam seperti saya, situasi ini hanya gaduh saja. Tak ada untungnya dan melelahkan. Padahal, musuh yang nyata di depan kita itu cukup banyak seperti Covid-19, kebodohan, maling, dan masih banyak lagi. Tapi tak tahu juga jika ada yang untung dengan situasi seperti ini. Jika menguntungkan, tentu akan terus dilanjutkan. (Kholil)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI