Ini adalah sebuah cerita dari seorang teman. Cerita itu kemudian merambat ke keluarga kami. Menjadi salah satu patokan ketika memutuskan untuk memberi nama anak.
Seorang teman, dengan hasratnya telah memberi nama anaknya dengan agak unik. Saya tentu tak akan menyebutkan nama itu, untuk menjaga perasaan saja bagi temanku. Bagi temanku dan juga aku, nama unik itu sesuatu yang biasa saja.
Bagi orang dewasa kebanyakan, nama unik juga dianggap biasa. Bahkan, ada yang menjadikan nama unik itu sebagai inspirasi saat memberi nama anaknya. Sehingga, di level orang dewasa kebanyakan yang kutahu, nama memang tak terlalu dipersoalkan.
Namun, cerita orang dewasa memang beda dengan cerita anak-anak. Nah, anak temanku yang memiliki nama unik itu, ternyata malah jadi bahan ejekan bagi teman-temannya di sekolah dasar. Nama yang unik itu malah jadi bahan tertawaan.
Seperti yang kau tahu, bahwa mental dan penerimaan anak berbeda-beda. Ada yang cuek saja dengan ejekan itu. Tapi, ada juga yang tertekan dengan ejek itu. Anak temanku tertekan batinnya ketika terus diejek karena nama unik.
Akhirnya, si anak kemudian dipindahkan ke sekolah lain untuk mengurangi tekanan. Aku tak mendengar lagi cerita soal serangan terhadap si anak itu. Mungkin karena si anak sudah mulai dewasa dan orang dewasa cenderung tak mempersoalkan unik atau tidaknya sebuah nama.
Ini ada cerita lain. Dulu saat masih kecil, aku memiliki teman laki-laki. Namun, namanya lebih mirip perempuan, yakni "Juliani". Saat itu, guru kami agak kaget di hari awal sekolah kala mengabsen nama murid. "Saya pikir perempuan," kata sang guru.
Lalu, sang guru mengatakan, nama yang umum untuk laki-laki adalah Julianto, bukan Juliani. Guru itu kemudian menerka beberapa kemungkinan sampai teman kami dinamai Juliani. Kemungkinan yang saya rasa tak perlu saya tulis di sini.
Tapi, seingatku kala itu tak ada ejekan pada temanku yang bernama Juliani. Mungkin karena saat kami kecil, main kelereng, main bola, main layangan, lebih menyibukkan daripada membahas nama. Mungkin seperti itu...
Nah, kala aku dan istri memiliki anak, aku merasa memiliki nama unik. Nama yang sudah aku siapkan  pada anak lelakiku yang kini sudah besar. Kala itu, aku baru saja melewati gelombang pertama tekanan hidup yang sangat berat. Ada juga gelombang tekanan hidup kedua yang lebih berat lagi.
Nah, aku ingin memberi nama anakku "Sabrang Lelaning Dunyo". Sebuah nama Jawa yang menurutku memiliki arti, "yang bisa melewati dunia yang melenakan atau tidak terlena dengan dunia". Dunia di sini adalah sifat, bukan benda. Tentu aku ingin anakku bisa melewati buruk dunia yang bisa membikin terlena.
Namun, nama itu tak disepakati oleh orang rumah. Aku diminta berkaca dari cerita teman yang ada di paragraf atas tulisan ini. Ada ketakutan, nama itu jadi bahan ejekan karena memang tak lumrah di tempat kami.
Aku mengalah dan menyerahkan nama pada istriku. Aku tak terlalu memikirkan apakah keegoisanku kalah dari keegoisan orang lain di rumah, atau aku yang tak terlalu memikirkan keinginanku lagi. Tapi, yang terngiang memang jika anakku jadi bahan serangan ketika sekolah pertama.
Tulisan ini hanya potret saja. Bahwa sesuatu yang menurut kita "baik" bisa jadi ejekan bagi orang lain. Nah, kadang kompromi dengan lingkungan itu dibutuhkan, sekalipun tentu saja tak boleh selalu dilakukan.
Kadang orangtua merasa bahwa anak adalah "titisannya". Artinya bahwa anak tak akan jauh beda dengan orangtuanya. Karena orangtua merasa memiliki mental baja, maka si anak diberi nama unik dan diyakini bisa menggendong nama itu. Padahal, bisa jadi mental baja orangtua itu muncul setelah ditempa hidup puluhan tahun. Sementara anak? Tentu belum memiliki pengalaman hidup yang mumpuni.
Ganti Nama
Pada zaman dahulu di tempatku, sebagian orang menilai nama adalah penentu seorang anak. Misalnya soal kesehatan. Jika anak cenderung sering sakit, maka langsung dikaitkan dengan nama.
Dulu, sebagian orang menilai, jika anak sakit-sakitan, maka terlalu berat memanggul nama. Artinya, nama si anak itu terlalu memiliki arti yang berat sehingga membuatnya sakit.
Akhirnya, supaya tak sakit-sakitan, nama anak diganti. Saat mengganti maka dilakukan selamatan. Nah, salah satu nama yang sering jadi pengganti adalah "Slamet" yang artinya tidak kurang suatu apapun atau mendapatkan keselamatan.
Maka, tak heran ketika mereka yang lahir di tahun 80-an ke bawah, banyak yang memiliki nama "Slamet". Namun, itu adalah fenomena dahulu. Saat ini sepertinya sudah jarang ada anak berganti nama setelah sering sakit-sakitan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI