Namun, nama itu tak disepakati oleh orang rumah. Aku diminta berkaca dari cerita teman yang ada di paragraf atas tulisan ini. Ada ketakutan, nama itu jadi bahan ejekan karena memang tak lumrah di tempat kami.
Aku mengalah dan menyerahkan nama pada istriku. Aku tak terlalu memikirkan apakah keegoisanku kalah dari keegoisan orang lain di rumah, atau aku yang tak terlalu memikirkan keinginanku lagi. Tapi, yang terngiang memang jika anakku jadi bahan serangan ketika sekolah pertama.
Tulisan ini hanya potret saja. Bahwa sesuatu yang menurut kita "baik" bisa jadi ejekan bagi orang lain. Nah, kadang kompromi dengan lingkungan itu dibutuhkan, sekalipun tentu saja tak boleh selalu dilakukan.
Kadang orangtua merasa bahwa anak adalah "titisannya". Artinya bahwa anak tak akan jauh beda dengan orangtuanya. Karena orangtua merasa memiliki mental baja, maka si anak diberi nama unik dan diyakini bisa menggendong nama itu. Padahal, bisa jadi mental baja orangtua itu muncul setelah ditempa hidup puluhan tahun. Sementara anak? Tentu belum memiliki pengalaman hidup yang mumpuni.
Ganti Nama
Pada zaman dahulu di tempatku, sebagian orang menilai nama adalah penentu seorang anak. Misalnya soal kesehatan. Jika anak cenderung sering sakit, maka langsung dikaitkan dengan nama.
Dulu, sebagian orang menilai, jika anak sakit-sakitan, maka terlalu berat memanggul nama. Artinya, nama si anak itu terlalu memiliki arti yang berat sehingga membuatnya sakit.
Akhirnya, supaya tak sakit-sakitan, nama anak diganti. Saat mengganti maka dilakukan selamatan. Nah, salah satu nama yang sering jadi pengganti adalah "Slamet" yang artinya tidak kurang suatu apapun atau mendapatkan keselamatan.
Maka, tak heran ketika mereka yang lahir di tahun 80-an ke bawah, banyak yang memiliki nama "Slamet". Namun, itu adalah fenomena dahulu. Saat ini sepertinya sudah jarang ada anak berganti nama setelah sering sakit-sakitan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI