Salah satu bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah daging ayam. Maka, bisnis peternakan ayam pun bisa muncul di banyak tempat. Nah, di masa Ramadan kali ini ada fenomena yang menurut saya langka.
Ramadan kali ini berbarengan dengan adanya  Covid-19 yang mewabah. Aktivitas orang berkurang drastis karena lebih memilih di rumah. Berada di rumah agar tak terserang Covid-19. Fenomena ini ternyata berpengaruh pada harga daging ayam potong.
Ceritanya begini, ada penjual daging ayam di Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas. Tentu, yang jualan daging ayam tak hanya satu dua orang. Sebagian mereka menjual daging ayam di pasar Desa Patikraja, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas.
Sebagian dari mereka keliling ke desa-desa lain. Sebagian mereka bercerita. Mereka bilang bahwa daging ayam tak bisa lagi dijual ke kota besar seperti Jakarta. Saya hanya menduga, di kota besar warung-warung tak seramai dulu karena pembatasan aktivitas.
Karena itu, permintaan daging ayam di kota besar turun. Ada juga yang bilang bahwa daging ayam tidak bisa masuk ke kota besar. Tapi, mereka juga tak bisa menjelaskan kenapa daging ayam tak bisa masuk ke kota besar.
Akhirnya, daging ayam itu tidak dijual di kota besar. Desa-desa menjadi sasarannya, termasuk di desa-desa Kecamatan Patikraja. Makin banyaknya daging ayam yang menjamur di desa-desa membuat harga daging ayam anjlok.
Seorang ibu rumah tangga bercerita ke saya, dahulu sebelum Covid-19 Â mewabah, harga satu kilogram daging ayam mencapai Rp 30 ribu. Kini, uang Rp 30 ribu bisa mendapatkan satu "ekor" daging ayam alias satu potong daging ayam. Padahal, satu potong daging ayam kadang setara dengan 2 kilogram.
Jika dipukul rata bahwa satu potong daging ayam sama dengan 2 kilogram, maka harga daging ayam turun dua kali lipat. Tentu belum diketahui fenomena ini akan berlangsung sampai kapan.
Namun, jika fenomena Covid-19 belum mereda, potensi fenomena daging ayam masih seperti saat ini. Bagi konsumen yang sering mengonsumsi daging ayam  tentu sebuah berkah. Namun, bagi produsen tentu jadi musibah.
Kalau bagi konsumen tentu tak terlalu masalah jika harga daging ayam anjlok. Nah, yang jadi problem adalah bagi produsen atau lebih tepatnya lagi para peternak ayam.
Gambaran kasarnya kira-kira seperti ini. Kalau harga daging ayam potong turun maka pendapatan produsen dan peternak ayam akan turun. Kalau hanya turun dan masih bisa mendapatkan untung mungkin masalah yang tak terlalu besar.
Namun, jika peternak rugi karena harga ayam yang anjlok, jelas akan jadi petaka. Apalagi jika kondisi ini bertahan sangat lama. Efeknya adalah, pekerja di peternakan bisa kehilangan pekerjaan.
Pengangguran akan muncul lagi di dunia peternakan setelah sebelumnya pemutusan hubungan kerja (PHK) muncul di mana-mana. Hal ini tentu perlu dicermati oleh banyak pihak, khususnya pemerintah.
Bagi para pengusaha ayam potong, pemerintah perlu membuat kebijakan agar bisnis ayam potong menggelora lagi. Hanya saja memang, teknisnya seperti apa, saya sendiri tak memiliki pemahaman dalam hal kebijakan ekonomi.
Pemerintah saya pikir punya banyak sumber daya untuk memikirkan problem pebisnis ayam potong. Bukan hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah bisa membuat kebijakan taktis agar dunia usaha kembali bergelora.
Saya sendiri berharap semoga kondisi ini cepat berlalu. Sebab, efek Covid-19 memang luar biasa. Semua kena efek buruknya, khususnya efek ekonominya. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI