Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berdoa Corona Usai dan Kita Jamah Negeri Indah Ini dengan Santai

31 Maret 2020   10:40 Diperbarui: 31 Maret 2020   10:47 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: booking.com

Tak ada yang enak ketika hidup dibatasi seperti ini. Mau ke mana, tak bisa. Mau bicara, jaga jarak. Mau terus diam membosankan. Melihat televisi, sudah jemu. Ide untuk berkreasi tak mengalir lancar karena inspirasi yang biasanya datang dari belantara persinggungan dengan sesama, sudah menipis.

Kini, kita berjuang dengan bertahan agar wabah corona itu tak makin menggila. Jaga kesehatan dan terus berdoa agar wabah ini sirna. Seorang guru pernah bilang bahwa yang bisa mengubah rencana Yang Maha Kuasa adalah doa yang berulang-ulang. Doa yang terus dipanjatkan, sembari terus berusaha.  Semoga kekuatan doa orang-orang Indonesia yang agamis ini bisa membuat corona makin menjauh pergi. 

Corona mengubah banyak hal, salah satunya adalah hasrat bepergian. Pergi itu adalah modal untuk kembali. Sejauh kita pergi, sejauh itu pula modal kita untuk kembali. Kembali ke rumah dan bercerita pada orang-orang tercinta tentang pengalaman kita. Sehingga, mereka tak perlu mengulangi kesalahan atau keadaan tak mengenakkan selama bepergian.

Di tempat kita berpijak, bepergian menjadi indah karena kita diberi negara yang indah. Tengoklah banyak pemandangan di negeri ini. Ada bukit yang menjulang hijau, yang tak akan pernah mampu dimuat sepenuhnya dalam media sosial Anda. Catatlah berapa bukit hijau dari Sabang sampai Merauke dan kita akan kewalahan menghitungnya.

Ada juga tepian lautan dengan suara ombak yang khas. Teknologi bisa mengukur berapa jauhnya bentangan bibir pantai di negeri ini. Namun, pada setiap titiknya, ada cerita yang jika kita tampung dalam berlembar-lembar halaman tak akan mampu kita deskripsikan dengan utuh.

Gunung? Bisa dihitung berapa banyak gunung di Nusantara. Berapa yang masih aktif dan berapa yang sudah lama tidur, berapa yang sudah tak aktif. Gunung-gunung itu membuat tanah kita banyak bebatuan bermanfaat. Gunung aktif itu membuat tanah di sekitar kita subur, sehingga Koes Plus membuat lagu "Kolam Susu". Jika kita daki gunung-gunung itu, kita tak akan pernah bisa merekamnya dengan video penuh, tak akan bisa memandang dengan jeli melalui mata kamera. Tak akan bisa mendeskripsikan secara rinci melalui tulisan di dunia maya.

Orangnya? Kurang kaya apa negeri ini dengan orang-orang yang sangat berbeda. Secara fisik berbeda antara orang di barat dengan orang di timur. Mereka juga menggunakan bahasa yang beragam. Saya tak tahu berapa buku yang menjelaskan asal muasal kata dari bahasa banyaknya suku di negeri kita. Apakah buku itu ada? Tak tahulah saya. Kebiasaan orang-orang di negeri kita juga berbeda karena perbedaan suku dan budaya.

Maka syukur adalah satu kata yang cocok untuk menggambarkan tempat di mana kita hidup, Rasa syukur itu salah satunya diwujudkan dengan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain di Indonesia. Jika Anda adalah orang yang belum banyak bepergian karena banyak kendala, maka berusaha dan berdoalah agar penerus Anda bisa bepergian dengan cukup.

Karena ingin menularkan semangat bepergian itu, saya merasa perlu membawa anak saya yang masih kelas 1 SD untuk bepergian. Saya hanya ingin memberi gambaran bahwa hidup di Indonesia itu berwarna. Tak perlu jauh-jauh, di Yogyakarta saja. Di tempat itu, akan banyak pelajaran yang didapatkan.

Anak saya lahir dan besar di Banyumas, sebuah wilayah sub kultur Jawa yang menggunakan bahasa panginyongan. Bahasa yang identik menggunakan huruf "a" daripada "o". Misalnya, "siapa" dalam bahasa Indonesia akan dilafalkan "sapa" dalam bahasa Banyumas. Sementara bahasa Jawa daerah Yogyakarta dan Solo ke timur (sebelum Jawa Timur) dan juga sebagian wilayah Pantai Utara, sebagian area Kedu melafalkan dengan "sopo", huruf "o" di sini dilafalkan seperti kata "eko", "pendopo", "sogok".

Sebagian orang Banyumas yang saya kenal tak mendefinisikan bahasa Banyumas memiliki strata. Sekalipun sebagian orang Banyumas yang lain menggunakan strata bahasa. Strata  misalnya adalah bahwa bicara dengan orang tua akan menggunakan bahasa yang halus dan bicara dengan teman sebaya bisa digunakan bahasa umum. Nah, sebagian orang Banyumas yang saya kenal menilai bahwa Banyumas tak memiliki aturan strata itu. Sementara, di Yogyakarta ada strata bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun