Berarti kalau begitu, saya tidak akan ke Timur, karena orang Timur telah unggul, saya harus ke"atas", kata Colombus (Karl R. Popper) Sabtu malam kemaren, Metro TV (acara Biography) menayangkan Biografi Hitler. Dalam acara berdurasi satu jam ini, masa keemasan dan redup-jatuhnya sang Fuhrer ditayangkan. Satu kesimpulan : "Hitler merupakan salah satu dan paling utama diantara berbagai aktor sejarah yang sangat percaya, bahwa ras/etnik merupakan faktor penentu perubah sejarah peradaban ummat manusia di muka bumi ini". Ketika kita melihat perubahan-perubahan besar dalam lintasan sejarah peradaban dunia, banyak kita temukan kekuatan-kekuatan sosial dimana kekuatan-kekuatan tersebut melatarbelakangi terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat. Perubahan merupakan sesuatu yang jnheren dalam realitas sosial. Ketika waktu berjalan, manusia-pun berubah seiring dengan gerak waktu tersebut. Namun sebagaimana halnya manusia, perubahan tersebut bisa dikondisikan, terkondisikan, dipercepat, diperlambat bahkan perubahan secara drastis. Ada yang beranggapan bahwa tokohlah yang menyebabkan perubahan itu terjadi (dikenal dengan "Great-Man Theory). Ada yang berpendapat bahwa ekonomi dan strukturnyalah yang berada di belakang suatu perubahan. Ada yang beranggapan bahwa agama, institusi, ideologi, wanita-gender, golongan, umur, budaya, mitos, sex maupun ras-etnis bisa menjadi penyebab yang signifikan dalam melatarbelakangi terjadinya suatu perubahan. Semua penyebab atau variabel diatas sering diperbincangkan dalam wacana intelektual. Namun ada satu yang seakan-akan "tabu" untuk didiskusikan karena pendekatan ini merusak nilai-nilai humanis universal, yaitu pendekatan bahwa ras-etnis menjadi faktor yang paling signifikan dalam mendorong perubahan sosial. Walaupun ada, karena pertimbangan nilai-nilai humanis tadi, yang berusaha untuk tidak melegitimasi secara keilmuan pendekatan ini, namun yang jelas, dalam sejarah panjang peradaban ummat manusia, pendekatan ini pernah dan mampu menjadi daya tarik potensial dalam menstimuli perubahan sosial, baik cepat maupun lambat. Bahkan zaman sekarang, pendekatan ini masih eksis di tengah-tengah masyarakat. Mungkin dikalangan intelektual humanis, pendekatan ini terasa sangat "kejam". Istilah rasis, menjadi konsep yang sangat negatif dalam tataran apapun. Baik itu dalam tataran ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Tapi harus diakui bahwa pendekatan ini pernah dipakai secara sistematis-terorganisir oleh suatu komunitas masyarakat. Klaim terhadap keunggulan suatu etnis bahkan dilegitimasi secara keilmuan. Untuk itu, betapapun "alergi"nya banyak komunitas masyarakat terhadap pendekatan ini, setidaknya pendekatan ini, sampai saat sekarang masih dipakai. Secara filosofis - sebagaimana yang diungkapkan oleh Jean-Paul Sartre, setiap manusia tidak akan pernah menganggap ras mereka sebagai ras inferior, marginal ataupun ras rendah. Setiap bangsa pasti menganggap ras mereka-lah yang paling utama. Dalam konteks sosiologis, pemahaman in-group membuat yang lain adalah out-group. Kemunculan kasta-kasta di India kuno, "negara-teror"nya Hitler dengan program program "horor" hollocaust, ambisiusnya Slobodan Milosevich yang melakukan genocide terhadap muslim Yugoslavia, fenomena politik Perancis beberapa tahun lalu dimana Jean Marie Le-Pen menjadi figur politik sentral di Perancis dengan mengusung isu Nos encestres les Gaulois etaientt Blonds (nenek moyang kita adalah bangsa Gaulis yang berambut pirang) atau fenomena penolakan suku Dayak terhadap etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun yang lalu, memperkuat anggapan bahwa rasis adalah entitas pemikiran yang tidak akan pernah tercerabut. Bila ditelusuri dalam sejarah, secara teoritis, teori rasis pernah mendapat tempat "sempurna" dari kalangan intelektual masa lalu. Filosof Jerman yang terkenal, GH. Herder pernah mengatakan : "Eropa merupakan wilayah yang paling tinggi tingkatannya dibandingkan dengan daerah-daerah lain karena dihuni oleh orang-orang pilihan cerdas dan diberi kelebihan-kelebihan alam". Sementara itu, peletak dasar teori "Tiga Tahap" dalam sosiologi, Auguste Comte berujar : "Ras kulit putih adalah ras tertinggi dan bahwa dengan sendirinya orang-orang Eropa merupakan elit umat manusia. Ras kulit putih telah mencapai tahap pemikiran tertinggi yaitu positivis setelah sebelumnya terkungkung oleh nuansa teologis yang penuh tahayul". Dan umumnya, pendapat Herder dan Comte tersebut merupakan pendapat mayoritas ilmuan di Eropa pada zamannya. Namun bukan berarti tidak ada yang "menetang". Popper (Karl Raymond Popper), si peletak dasar pendekatan falsifikasi dalam filsafat sejarah dan sosial ini justru pernah mencela "mimpi-mimpi manusia Eropa" tentang keunggulan ras mereka. Popper mengatakan : "Colombus berangkat berlayar dan menemukan Amerika. Apa sebenarnya yang ia cari pada abad ke 15 itu ? Sementara banyak orang Eropa mengatakan bahwa Colombus ingin mencari sebuah pengakuan akan keunggulan ras Eropa dibandingkan ras lain, justru Colombus sebenarnya mencari dua hal yaitu kehormatan dan kekayaan. Sebelum berangkat, Colombus "belajar" dengan kitab "orang lain" dari "ras lain" yang secara diam-diam diakui oleh Colombus sebagai ras unggul, bahkan jauh lebih unggul dari ras Eropa. Colombus membaca Kitab Edras yang dibaca Marco Polo ketika berkeliling ke dunia Timur. Ya .... kitab Edras merupakan kitab orang Timur. Berarti kalau begitu, saya tidak akan ke Timur, karena orang Timur telah unggul, saya harus ke"atas", kata Colombus. Ada sebuah pengakuan Colombus akan keunggulan ras selain ras Eropa dan Colombus tidak pernah mengklaim penemuan benua Amerika oleh ekspedisinya untuk mengklaim keunggulan ras-nya. Justru oleh orang-orang belakangan, ini dipelintir".