Mohon tunggu...
Ilham Baihaqi
Ilham Baihaqi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Doktrin Budaya Banyak Anak banyak Rezeki

23 Juni 2021   22:30 Diperbarui: 23 Juni 2021   22:36 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Doktrin Budaya, Banyak Anak Banyak Rezeki

Oleh: M. ilham Baihaqi

Mahasiswa Sosiologi, FISIB Universitas Trunojoyo Madura

Istilah "banyak anak banyak rezeki" yang berkembang di masyarakat Indonesia lahir dari kaum petani dan nelayan pada masa paska kemerdekaan. Istilah ini tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan anggapan bahwa anak merupakan sumber rezeki dan penjamin kesejahteraan keluarga. Banyak anak banyak rezeki timbul dengan pemikiran bahwa setiap anak diberi rezeki oleh Tuhan, dan kemudian rezeki tersebut digabungkan menjadi satu sehingga banyak anak akan membawa banyak rezeki.

Tumbuhnya anggapan tersebut dilatarbelakangi oleh mata pencaharian orang-orang pada jaman dulu, terutama kaum petani dan nelayan yang membutuhkan tenaga fisik dalam pekerjaannya. Kaum petani dan nelayan pada saat itu memandang anak sebagai sumber tenaga untuk mengolah lahan pertanian dan perikanan. Anggapan ini tumbuh bersama dengan budaya komunal yang mengedepankan gotong-royong. Dengan banyaknya anak, maka terdapat banyak sumber tenaga gratis untuk meringankan beban kerja dalam mengelola lahan dengan bergotong-royong. Semakin banyak tenaga kerja, maka lahan yang digarap akan semakin luas, dan keluarga akan semakin sejahtera karena memiliki banyak lahan.

Keinginan masyarakat dalam memiliki banyak anak pada masa itu didukung oleh kondisi negara yang sudah mulai aman. Masyarakat paska kemerdekaan merasa terlindungi karena negara sudah terbentuk dan berdaulat, sehingga masyarakat mulai memikirkan kehidupannya dan merancang untuk memiliki banyak keturunan sebagai penerus. Pada saat itu, pemerintah juga mendukung masyarakat untuk memiliki banyak anak sebagai sumber daya manusia untuk menghidupkan negara.

Orang tua pada masa lampau memiliki harapan besar kepada anak-anaknya, sehingga memiliki banyak anak dianggap sebagai suatu pencapaian. Harapan orang tua dari memiliki banyak anak adalah sebagai penjamin kesejahteraan di masa tua kelak. Anak dianggap sebagai investasi yang akan memenuhi kebutuhan hidup orang tuanya sebagai wujud bakti anak kepada orang tua. Orang tua yang memiliki banyak anak tidak akan merasakan kesulitan di masa tua. Dan ketika orang tuanya meninggal dunia, akan ada yang mendoakannya kelak, yaitu anak-anaknya.

Dari sisi budaya, ungkapan "banyak anak banyak rezeki" tumbuh menjadi kepercayaan yang mengakar kuat di masyarakat. Kepercayaan banyak anak banyak rezeki juga bercampur dengan perspektif agama, bahwa anak merupakan titipan dan anugerah dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Maka dari itu budaya "banyak anak banyak rezeki" menjadi sebuah stigma yang dianggap sebagai aturan tidak tertulis di masyarakat.

Kepercayaan tentang banyak anak banyak rezeki semakin berkembang menjadi sebuah nilai yang dijunjung tinggi dan melanggar hal tersebut dianggap tabu. Bahkan, mengeluhkan tentang kesulitan dalam mengurus anak karena kondisi ekonomi yang tidak mencukupi pun dianggap sebagai sebuah dosa, menentang Tuhan. Berusaha untuk membatasi jumlah anak adalah haram. Keyakinan tersebut berkaitan dengan alasan normatif dan moral, karenanya program Keluarga Berencana yang dikeluarkan oleh pemerintah banyak mengalami pertentangan pada saat awal-awal, dan menjadi hal yang dianggap melanggar hak asasi manusia.

Budaya dan tradisi yang sudah mengakar kuat dan membentuk pola pikir masyarakat menjadi sebuah benteng yang kuat. Budaya yang berkembang di masyarakat cenderung tidak berkembang, sulit untuk diubah karena berkaitan keyakinan bahwa nilai-nilai budaya tersebut adalah benar. Dibandingkan dengan mencoba mengatasi masalah yang timbul karena banyak anak, seperti kesulitan ekonomi, tingkat putus sekolah yang tinggi, anak terlantar dan isu kesehatan perempuan, masyarakat lebih memilih untuk tetap mempertahankan budaya banyak anak banyak rezeki. Masyarakat memilih untuk menutup mata bahwa memiliki banyak anak pada kondisi ekonomi yang tidak stabil adalah sebuah masalah.

Pandangan mengenai "banyak anak banyak rezeki" berkembang menjadi sebuah penentu status sosial di masyarakat. Memiliki banyak anak akan meningkatkan status sosial, seperti pada masyarakat yang menganut sistem patriarki, mereka tidak akan berhenti melahirkan anak sebelum memiliki anak laki-laki, karena laki-laki dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Begitu pula pada masyarakat yang menganut sistem matriarki, mereka tidak akan berhenti melahirkan sampai mereka memiliki anak perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun