Mohon tunggu...
Ilham Martadinata
Ilham Martadinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta, Universitas Pertahanan Republik Indonesia

Saya merupakan Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta, Universitas Pertahanan Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Pertahanan Negara dalam Menghadapi Ancaman Wilayah Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

17 April 2024   02:02 Diperbarui: 21 April 2024   08:04 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Peta Klaim Sengketa di Laut China Selatan Sumber: Center for Strategic and International Studies, Permanent Court of Arbitration, 2012

Abstrak

Sejak 2010, Indonesia terlibat dalam konflik Laut China Selatan karena Tiongkok mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di wilayah utara Kepulauan Natuna. Klaim ini terus berlanjut hingga pada 2016, ketika kapal penangkap ikan Tiongkok melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna. Pemerintah Indonesia berusaha menjaga kepentingan nasionalnya di Natuna, meskipun Indonesia bukan negara yang bersengketa, karena tindakan Tiongkok tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia. Tujuan dari studi ini adalah untuk mempelajari kepentingan nasional Indonesia di kawasan Laut China Selatan serta reaksi Indonesia terhadap perubahan yang terjadi selama pemerintahan Indonesia di kawasan tersebut. Hasil menunjukkan bahwa mempertahankan kedaulatan wilayah, hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam, dan menjaga stabilitas wilayah di Laut Natuna Utara adalah beberapa kepentingan nasional Indonesia di wilayah Laut China Selatan.

Kata Kunci: Sengketa, Laut China Selatan, Indonesia, Geopolitik, Geostrategi.

PENDAHULUAN

Situasi geopolitik Laut China Selatan rumit dan dapat berubah secara cepat. Selain memiliki kekayaan sumber daya alam seperti minyak dan gas, Laut China Selatan adalah jalur laut dunia yang sangat penting. Akibatnya, banyak negara di sekitarnya sangat ingin memiliki klaim kedaulatan atas beberapa wilayahnya. Proses perebutan wilayah di Laut China Selatan karena klaim yang saling tumpang tindih terus menjadi masalah keamanan utama di wilayah ASEAN. Laut China Selatan memiliki luas sekitar 3 juta km persegi dan terletak di antara pantai selatan Tiongkok dan Taiwan di sebelah Utara; negara-negara Asia Tenggara berada di sebelah Barat; kumpulan pulau Filipina berada di sebelah Timur; dan Kalimantan dan Indonesia berada di sebelah Selatan. Sepuluh negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam (Schofield, 2016). Di sisi lain, wilayah daratan dan laut yang terdiri dari gugusan kepulauan Paracel dan Spratly menjadi fokus konflik (Indonesia.go.id, 2020).

Dimulai pada tahun 1970-an, sengketa Laut China Selatan belum selesai. Sebagian besar negara yang berpartisipasi dalam konflik Laut China Selatan adalah Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Semua negara ini mengklaim sebagai bagian dari negara mereka sendiri. China menggunakan dasar historis, sementara negara-negara yang mengajukan tuntutan menggunakan dasar geografis berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional (Indonesia.go.id, 2020). Selain itu, Amerika Serikat merasa punya kepentingan di Laut China Selatan. Angkatan Laut AS secara teratur melakukan operasi pelayaran di wilayah tersebut untuk menantang klaim China. Bahkan, Amerika Serikat memperingatkan China bahwa mereka tidak akan dapat menguasai Laut China Selatan.

Sumber utama konflik di Laut China Selatan adalah kondisi geopolitiknya. Ini adalah masalah yang kompleks yang tidak memiliki solusi yang sederhana. Namun, penting untuk memahami keadaan saat ini jika kita ingin membuat rencana yang efektif untuk mengelola risiko dan memastikan wilayah tersebut aman dan stabil. Faktor-faktor berikut menyebabkan ketegangan geopolitik di Laut China Selatan:

  • Perluasan China menjadi Kekuatan Ekonomi Dunia: Saat ini China adalah kekuatan ekonomi nomor dua di dunia, yang memungkinkannya untuk meningkatkan kekuatan militer dan Angkatan Lautnya.
  • Klaim Kedaulatan yang Disengketakan: Beberapa negara, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, mengklaim kedaulatan di sebagian besar Laut China Selatan, yang menyebabkan ketegangan dan konflik di beberapa negara.
  • Pentingnya Unsur Strategik Laut China Selatan: Laut China Selatan adalah alur laut utama dan dianggap memiliki banyak kandungan sumber daya alam minyak dan gas. Akibatnya, banyak negara bersaing untuk mengontrol laut ini.
  • Kehadiran Amerika Serikat di Laut China Selatan: Amerika Serikat telah memiliki sejarah panjang keterlibatan di Laut China Selatan karena kepentingannya dalam menjaga kebebasan pelayaran dan mencegah sengketa antara beberapa negara. Angkatan Laut Amerika Serikat sering menerapkan kebebasan operasi pelayaran di Laut China Selatan, yang sebenarnya dimaksudkan untuk menentang klaim China.
  • Ketegangan geopolitik di Laut China Selatan: Penting untuk memahami berbagai faktor yang berkontribusi pada ketegangan ini untuk mengembangkan strategi yang efektif untuk mengelola risiko dan mendukung perdamaian dan stabilitas di seluruh wilayah tersebut.

Laut China Selatan memiliki nilai strategis sebagai Jalur Perdagangan Laut dan Jalur Komunikasi Laut yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, membuat jalur Laut China Selatan sebagai jalur tersibuk di dunia. Akibatnya, Laut China Selatan menjadi wilayah yang diperebutkan. Laut China Selatan menampung setengah lalu lintas perdagangan global (Utomo at al.., 2017). Selain itu, karena cadangan minyak dan gas alamnya, wilayah ini juga memiliki nilai ekonomis (Utomo at al., 2017). Indonesia memiliki peran yang sangat penting untuk menstabilkan banyak hal, terutama sektor politik, ekonomi, dan militer, karena posisi strategisnya. Menurut Pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) digunakan untuk melaksanakan pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, kebijakan pertahanan negara tidak dapat dievaluasi hanya dari sudut pandang pertahanan; sebaliknya, mereka harus diurus sebagai satu kesatuan konseptual yang lengkap dari pertahanan dan keamanan (Kemhan_RI, 2015).

Di era globalisasi saat ini, jenis ancaman yang dihadapi oleh suatu negara telah berubah. Sekarang, ancaman terhadap suatu negara tidak lagi berasal dari invasi militer negara lain atau perang konvensional; sebaliknya, ancaman baru datang dari Aktor Non Negara (Krahmann, 2005). Beberapa bukti masuknya kelompok radikal ke Indonesia, pencurian ikan oleh kapal ikan dari negara lain, dan perdagangan manusia. Karena posisi Indonesia yang sangat terbuka, semua ancaman kejahatan lintas negara cenderung berasal dari wilayah laut. Disebabkan jumlah muatan yang dapat diangkut dan biaya transportasi yang lebih rendah dibandingkan dengan darat atau udara, laut masih menjadi cara utama bagi negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan perdagangan. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan meningkatnya aktivitas perdagangan dan transportasi internasional melalui wilayah perairan yang berbatasan dengan negara-negara lain, serta jalur laut untuk komunikasi, atau Sea Line of Communication (SLoC), dan jalur laut untuk transportasi, atau Sea Line of Transportation (SLoT). Kekayaan laut Indonesia yang melimpah merupakan sumber daya alam yang memungkinkan seseorang untuk mengambil dan memanfaatkan sumber daya tersebut secara ilegal (Edhy, 2010). Hal ini dapat mengganggu stabilitas keamanan laut dan menimbulkan konflik dengan negara-negara lain karena dapat mengganggu kedaulatan negara tersebut. Dengan mempertimbangkan potensi ancaman laut yang dihadapi oleh negara karena keterbukaan geografis Indonesia, pengendalian laut dapat menjadi masalah penting yang harus dibahas secara nasional untuk mengatasi dan menangkal ancaman yang mungkin dan sebenarnya. Ancaman laut termasuk pelanggaran dan tindak pidana seperti pembajakan, perompakan, penyelundupan senjata, bahan bakar minyak dan obat-obatan terlarang, pencurian kekayaan alam seperti perairan ilegal, penangkapan kayu, penambangan, pencemaran lingkungan laut, pembuangan limbah berbahaya dan beracun, sabotase benda penting di laut, dan kecelakaan atau musibah di laut yang disebabkan oleh manusia atau alam (United Nations Office on Drugs and Crime, 2010).

Sesuai dengan nilai strategis ini, setiap negara yang mengajukan gugatan berusaha untuk melindungi kepentingan nasional mereka dengan melakukan berbagai tindakan. Ini termasuk Tiongkok meluncurkan peta nine dash line, Filipina mengajukan gugatan terhadap Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen PBB, dan Tiongkok membangun pulau buatan dan menempatkan militernya di Laut China Selatan. Bahkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) telah hadir melalui kekuatan militernya untuk menentang ekspansi Tiongkok di Laut China Selatan dengan meningkatkan aktivitas Operasi Kebebasan Navigasi untuk menentang masalah tersebut (Hutama, 2019). Selanjutnya, konflik Laut China Selatan mulai menyeret Indonesia sejak tahun 2010. Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau, yang merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sementara itu, Tiongkok menegaskan bahwa mereka memiliki hak atas perairan di Kepulauan Natuna berdasarkan argumen zona penangkapan ikan tradisional (Dugis, 2016, p. 97). Klaim sepihak Tiongkok atas perairan Natuna terus berlanjut hingga menyebabkan bersitegang antara Indonesia dan Tiongkok pada tahun 2013 dan mencapai puncaknya pada tahun 2016. Tercatat bahwa sejumlah kapal nelayan Tiongkok memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada Maret, Mei, dan Juni 2016 dan melakukan liar, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan tidak diatur. Menurut Rosana (2020), insiden tersebut kembali terjadi pada tahun 2019 dan 2020. Kali ini, bukan hanya kapal nelayan yang terlibat, tetapi juga coast guard Tiongkok yang melakukan pelanggaran serupa. Ada perbedaan pendapat antara Tiongkok dan Indonesia yang menyebabkan berbagai peristiwa pelanggaran di atas terjadi. Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa kapal nelayannya berhak untuk berlayar dan bahwa coast guard-nya berhak untuk melakukan patroli di area nine dash line. Sebaliknya, pemerintah Indonesia menolak mengakui nine dash line dan menganggap Tiongkok telah melakukan pelanggaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yaitu di perairan Laut Natuna Utara. Berkaitan dengan wilayah perairan Indonesia karena kedaulatan wilayah Laut China Selatan diancam oleh klaim China yang melewati perairan Indonesia, yang membuat Indonesia menjadi pemain maritim terkemuka di dunia.

ANALISIS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun