Mohon tunggu...
Muhammad Ilfan Zulfani
Muhammad Ilfan Zulfani Mohon Tunggu... Penulis - Kayanya pembelajar

Lahir dan tumbuh di Banjarmasin. Pernah tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sosiologi di SMA Bikin Orang Salah Paham sama Sosiologi di Universitas

9 Maret 2021   15:09 Diperbarui: 12 Maret 2021   15:03 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(pixabay.com/Anemone123)

Contoh fakta sosial adalah "bahasa Indonesia". Saya buktinya, saya tidak bisa serta menulis untuk Kompasiana menggunakan bahasa Thailand. Padahal, kalau boleh, saya bisa saja menggunakan bahasa Thailand (tentunya dengan bantuan Google Translate). Tapi kok ga bisa? Ya, karena itu fakta sosialnya. 

Fakta sosial "bahasa Indonesia" ini di luar diri saya. Jadi, sebenarnya, saya tidak memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia sesadar-sadarnya atau atas dasar pilihan bebas saya. Tapi, justru saya subconsciously menggunakan bahasa Indonesia.

Contoh lagi, misalnya, bagaimana masyarakat kita masih menjadikan pernikahan sebagai fakta sosial. Akhirnya orang-orang di masyarakat kita lebih banyak mempertimbangkan menikah dengan siapa atau kapan akan menikah ketimbang apakah akan menikah.

Fakta sosial ini hanya satu pandangan dari sosiologi. Ada banyak pandangan lain yang memperbaiki atau memperbarui pemikiran saudara Durkheim tersebut.

(pixabay.com/Anemone123)
(pixabay.com/Anemone123)

Lalu bagaimana sosiologi di SMA? Astaga komodo, bahkan saya pun tidak ingat persis apa yang saya pelajari dulu. Pelajaran sosiologi di SMA dulu hanya kebanyakan menghafal dan hafalan saya tentu saja sekarang sudah hilang. Lagian, apa juga manfaat sosiologi SMA yang perlu diingat (kepada guru sosiologi SMA saya yang membaca ini agar tidak sakit hati, saya tidak dalam posisi menyinggung Ibu dan Bapak *emoticon minta maaf*, bagaimanapun yang patut disalahkan adalah kurikulumnya yang juga merupakan "fakta sosial")?

Tentu saja Anda dapat berargumen bahwa mata pelajaran SMA lain juga kebanyakan menghafal. Maka biarkan saya menjawab soal ini.

Kalau geografi, ekonomi, terutama sejarah di SMA masih ada urgensinya untuk dihafalkan. Kalau sosiologi? Lah, sosiologi itu lebih ke "way of thinking". Ilmunya sesungguhnya abstrak. Geografi dan ekonomi di SMA masih ada rumus yang memang perlu dihapalkan. Kalau sosiologi, saya rasa hampir nggak ada. Ya, ada sih menghapalkan teknik di SPSS dan program pengolahan data lainnya. Tapi itu kan adanya di kuliah.  

Jadi, para penyusun kurikulum sosiologi di SMA itu memaksakan ilmu yang sesungguhnya abstrak dan melatih cara berpikir dan berimajinasi (C. Wright Mills menyebut "Imajinasi Sosiologi" sebagai kemampuan yang harus dimiliki sosiolog) menjadi sebuah ilmu yang dihafalkan. Mana bisa cara berpikir dihafalkan? Cara berpikir ya diasah.

Kesimpulannya, untuk memahami sosiologi "sejatinya", kita tidak dapat mengacu pada yang diajarkan di SMA. Anda perlu membaca langsung buku sosiologi yang diajarkan di tingkat perkuliahan dan harus buku yang bagus. Bukan buku yang dibuat seadanya, sekadar untuk menambah-nambah curriculum vitae dosen.

Kesimpulan selanjutnya adalah bahwa sosiologi di tingkat perkuliahan itu tidak seremeh sosiologi di SMA yang Anda-Anda sekalian jarang remedial bahkan sampai dapat nilai tinggi-tinggi. 

Anda belum ketemu saja gagasan-gagasan dari Foucault, Giddens, Ritzer, Habermas, Gramsci, Khaldun, Bourdieu, Goffman, Bauman, Blumer, dan kawan-kawan se-gank nya yang tidak bisa dipahami hanya dengan waktu seperti menyelesaikan satu bab buku LKS SMA kecuali Anda sejenius Max Weber atau Karl Marx.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun