Mohon tunggu...
Nurul Faizah
Nurul Faizah Mohon Tunggu... Guru - Baru sampai bisa titik. Belum di akhir titik.

Emak-emak yang mencoba menggairahkan diri pada menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perempuan Tiga Generasi

7 April 2021   22:38 Diperbarui: 8 April 2021   06:45 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emakku

Kupandangi wajah putriku yang sedang asyik bermain. Entah kenapa wajah emakku yang muncul. Mungkin ini yang namanya rindu. 

"Teh, kalau sudah besar mau jadi apa?"

Dia menjawab dengan manis, " Jadi dokter, yang meriksa perut ibu-ibu yang ada bayinya."

Lagi, kuteringat emakku. Beliau pernah bercerita padaku. Saat kecil, emak punya cita-cita ingin jadi bidan. Tapi apa daya, lepas SD langsung menikah, dengan cerita pernikahan yang menggelikan dan berakhirlah, emakku menyabet titel janda kembang di usia yang amat muda dan menikah dengan bapakku beberapa tahun kemudian.

Sempat kubertanya-tanya, kenapa simbahku menikahkan putrinya di usia yang amat muda? Apakah karena kecantikannya yang kini diturunkan padaku? (hehe,,,tapi sungguh sepintas aku mirip emak, dikit) Apa karena emakku anak perempuan pertama dari selusin anaknya? Kenapa hanya emakku yang mengenyam pendidikan sampai SD saja padahal simbahku terkenal kaya raya di kampungnya? 

Bagiku rasanya tak adil, meskipun emakku dihibahi sawah yang bila dikurskan dalam biaya pendidikan saat itu, ah entah sepertinya takkan menggantikan biaya pendidikan (belum lahir BOS, bidik misi atau pun KIP). Dan tentunya itu takkan menggantikan cita-cita yang pupus, masa remaja yang indah, serta peluh-peluh kesedihannya.

Suatu ketika simbah kakungku sakit. Emakku berkata seandainya saat itu simbah menyekolahkan hingga menjadi bidan, pasti emak akan lebih lihai merawat simbah. Tapi bisa jadi emak takkan punya banyak waktu seperti sekarang. Begitulah kata penutupnya. Rasanya seperti mengiris bawang. Bukan pula maksud tak bersyukur. Keadaannya yang hanya lulusan SD jadi kekuatan baginya untuk menyekolahkan kami berlima hingga ke perguruan tinggi. 

Aku

Saat masuk usiaku yang 25, emakku baru sadar, aku sudah besar. Aku pun menikah dan hamil. Di usia kehamilanku yang makin besar, aku yang semakin baper, tak tahan dengar orang bilang, 'sayang sarjana gak kerja'. Aku pun menulis beberapa lamaran pekerjaan. 

Beberapa SD kudatangi. Teringat seorang kepala sekolah berkata, "kami di sini butuhnya guru laki-laki, apalagi si mbak lagi hamil." Aku yang ditakdirkan perempuan, berkaca-kaca menahan tangis. Aku bisa angkat galon, aku bisa mendirikan tenda, aku bisa melatih anak-anak berbaris, aku bisa mengecat, aku bisa naik pohon, yang tak kubisa adalah menerima alasan penolakannya. 

Siswiku

Akhirnya takdir lain pun bertandang, aku menjadi guru di Bandung Barat. wah, Bandung di gambaranku adalah Braga, Lembang dan sekitarnya. Nyatanya bikin aku gak nyangka. Ini Bandung?2 jam ke 'alfa' saat itu, alhamdulillah sekarang hanya butuh 30 menit. Jalanan sudah mulus, karena sangat dekat dengan megaproyek PLTA Cisokan, terimakasih PLN!

Akses jalan yang sudah semakin baik, memudahkan anak-anak untuk sekolah. Tetapi itu tak serta merta dapat memudarkan tradisi orang tua yang mengawinmudakan anak gadis mereka. Belum genap empat tahun aku mengajar di sini, sudah empat juga siswiku yang menikah. Mereka bahkan belum 15 tahun!

Mereka sering menginap di tempatku. Karena kebetulan aku pelaku LDM. Kita bahkan suka bermain domikado, atau sekedar baca buku cerita. Tak menyangka! Esok setelah mengantarku pindahan kontrakan, Rina menikah tanpa mengundangku. Saat itu Rina kelas 8, di SMP Terbuka yang sengaja diadakan di kampung itu karena jauh dari sekolah formal. Sesak dadaku. 

Kudatangi rumahnya, sambil memberikan selamat. Bapak ibunya menyambutku. Kata Bapaknya, "Daripada pacaran bu, dosa. Jadi saya nikahkan. Yah gini bu, sederhana yang penting halal." Berat mulutku merespon, kujawab saja, " Selamat ya Mang, punya mantu. Tetap sekolah ya Rin." Rina menjawab dengan anggukan. Tak bisa kuterka, apa yang dia rasa.

Rina tak lagi berangkat sekolah. Namun dia hadir di Ujian Nasional SMP. Usai Ujian Nasional, Rini menikah. Rini kembaran Rina. Kemudian Pipit, sahabat Rini. Ah, ini sungguh bukan drama. Ini Abad 21 yang penuh tantangan katanya. Tantangan mereka tidak main-main. Bukan lagi dunia main.  

Suatu hari, aku yang semakin tak percaya diri dengan ketidakberdayaanku menghadapi fenomena ini, mendengar para emak duduk-duduk berbincang dengan topik yang nampaknya panas. Aku pun mampir sebentar. Ternyata berita Susi menikah! Susi yang baru lulus SD di tahun 2019. 

Terngiang dalam ingatanku, dia yang mengintip dari jendela dapur saat pertama kali aku hidup di lembur itu. Berkali-kali kutiup hawu (kompor kayu bakar) yang tak kunjung menyala. Susi menawarkan bantuan. Akhirnya dia pun sering singgah, membantuku, atau sekedar mengeja cerita, karena dia belum begitu lancar membaca. 

Susi tinggal dengan neneknya yang seorang paraji (dukun bayi). Ibunya seorang TKW, dan sudah menikah lagi. Jadi, kalaupun pulang, ibunya lebih sering di keluarga baru mereka dibandingkan dengan Susi. Ini baru Susi. Ada banyak anak TKI di sini dengan kisah-kisah mereka. 

Tanpa undangan, aku pun datang ke pestanya. Aku melihat dia dengan gaun sederhana berwarna putih duduk di lantai bersama suaminya yang ternyata masih sepupunya. "Selamat yah," Kataku. 

Dia tersipu seperti gadis kecil yang sedang main manten-mantenan. Kembali kuingatkan, jangan lupa tetap sekolah. Jadi peranku baru sebatas mengingatkan. ah, carut marut, sungguh! siapa yang tak bahagia mendengar berita pernikahan? Selain para mantan, akulah orangnya.

Tentang pernikahan yang terlalu muda itu, aku hanya bisa mengedukasi siswa-siswaku yang baru kelas 5-6. Itupun kadang aku ragu, mereka paham tidak ya, hehehe. Tapi, aku guru mereka. Ada banyak kemungkinan mereka mendengarkanku dan meneladaniku. Emakku, aku dan siswiku adalah generasi yang berbeda namun sama, nampak tak berdaya. Tetapi aku yakin, kami punya kekuatan tidak menyerah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun