Pertengkaran pun tak sekadar adu mulut. Kadang, sampai adu fisik dan sulit untuk dipisahkan. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah dan ingin menang sendiri. Implikasinya, ada saja kerusakan yang terjadi dari barang-barang yang dibanting.
Nah, ada satu hal unik yang diceritakan di serial Mama Lela. Tak lain adalah sosok Pak RT yang tidak tegas, terutama saat ada warga yang bertikai. Sosok RT yang dipilih cukup unik perangainya dan hampir selalu kewalahan saat ada huru-hara di kampungnya. Persis dengan sosok RT yang sedang menangani masalah Sahara dan Yai Mim yang tidak tegas sehingga masalah tetangga yang seharusnya bisa diselesaikan dalam tingkatan RT menjadi masalah internasional yang seakan harus PBB dan NATO turun tangan.
Walau kasar dan sering ada adegan kekerasan, harus diakui serial ini bisa jadi cerminan hidup bertetangga di Kota Malang saat ini. Apalagi kalau bukan banyaknya wilayah - terutama RT - yang tidak punya pemimpin tegas. Tidak jauh-jauh, di lingkungan saya sendiri sempat terjadi huru-hara soal penyaluran bansos.
Ada saja warga yang tidak terima karena tidak terdaftar bansos. Saat komplain, Pak RT masa itu tidak bisa menjawab dengan jelas sehingga sempat dikasuskan sampai tingkat lurah. Beberapa warga sampai lapor ke Pak Lurah yang segera ditanggapi dengan pemutakhiran ulang warga penerima bansos.
Ada juga warga di lingkungan teman saya yang juga masih di Kota Malang sering mengeluhkan kegiatan anak-anak muda hingga larut malam. Saat komplain ke Pak RT, eh malah keluhan itu dianggap lalu. Pak RT-nya menganggap kegiatan anak-anak muda tersebut adalah hal lumrah padahal mereka bernyanyi dengan cukup keras. Kebetulan, teman saya memiliki seorang bayi yang butuh ketenangan.
Beberapa contoh kasus ini membuktikan bahwa pemimpin di tingkat RT juga tak kalah pentingnya dengan tingkatan lain. Ia harus memiliki kebijaksanaan dan kemampuan menyelesaikan masalah agar tidak melebar ke mana-mana. Ia juga tak boleh memihak ke salah satu atau kelompok warga tertentu. Makanya, dari kasus yang viral ini, pemilihan RT semestinya menjadi agenda penting dan bukan hanya asal menggugurkan kewajiban.
Kembali ke masalah tadi, apakah kehidupan bertetangga di Kota Malang semengerikan itu? Jawab saya tidak. Saya merasa lingkungan saya enak-enak saya walau saya hanya 3 hari tinggal di Malang. Kemarin, saya sempat ditegur tetangga karena saya memarkir kendaraan terlalu ke tengah jalan sehingga ia tak bisa lewat.Â
Saya memang lupa karena keburu masuk ke kamar mandi. Tanpa banyak kata, saya segera memindahkan motor saya, meminta maaf, dan memastikan apakah ia bisa lewat dengan nyaman. Ia pun lalu lewat dan mengucapkan salam sekaligus berterima kasih. Masalah selesai tanpa ada drama-drama viral.
Beberapa waktu sebelumnya, saya juga sempat menegur anak tetangga saya yang habis merayakan ulang tahun dengan memecahkan telur dan sampahnya dibuang ke depan rumah saya. Tentu, saya menegurnya dengan halus dan saya juga mengatakan kepada orang tuanya karena baunya cukup menyengat. Untung saja, tetangga saya menerima dan menegur kembali anaknya agar tidak diulangi lagi. Simpel dan tanpa huru-hara.
Makanya, saya bisa mengatakan sebenarnya hidup bertetangga di Malang tidaklah semengerikan itu. Semua tergantung kita dan hoki kita mendapatkan tetangga yang baik. Tak hanya itu, Pak RT yang bijak dan solutif juga menjadi sebuah rezeki dalam hidup bertetangga. Kalau hidup bertetangga seperti di serial Mama Lela, mungkin saya juga bisa stres setiap hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI