Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Perlukah Membuat Aturan Ketat untuk Mencegah Anak Kecanduan Belanja Voucher Game Online?

25 Juni 2021   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2021   09:26 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain game online| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Inilah yang menjadi dasar persoalan dan sering dikeluhkan oleh orangtua karena uang anak mereka -- dan tentunya uang mereka -- habis digunakan untuk top up. Sesuatu yang tidak bisa kelihatan secara fisik untuk dinikmati. Beda halnya dengan perwujudan barang ketika anak mengoleksi suatu mainan tertentu.

Kemudahan top up juga bisa berwujud redeem pulsa. Kadang, jika ada event tertentu, top up game online menjadi barang obralan yang harus segera diburu. Apapun harus dilakukan agar bisa top up segera. Tak peduli ada uang atau tidak.

Dengan pemikiran dan kemudahan top up semacam itu, maka banyak kasus miris seputar top up game online yang bikin dada sesak. Salah satunya adalah saat seorang ayah memarahi habis-habisan seorang kasir sebuah minimarket yang melayani pembelian voucher game online anaknya. 

Kemarahan sang ayah terjadi karena jumlah uang yang dibelanjakan oleh sang anak tidak main-main hingga 800 ribu rupiah. Jumlah yang bisa digunakan untuk membayar sewa satu kamar kos selama satu bulan. Atau bahkan untuk membeli beras sebanyak 80 kg.

Meski akhirnya sang ayah meminta maaf, tetapi dengan kejadian ini membuat banyak orang dewasa mulai waspada terhadap pembelian voucher game online yang dilakukan anak-anak. Terlebih, jika nominal voucher yang mereka beli sangat besar misalkan di atas 100 ribu rupiah.

Ilustrasi. - Merdeka.com
Ilustrasi. - Merdeka.com
Tak sampai di situ, seorang remaja tanggung di Sidoarjo bahkan membakar sebuah rumah tetangganya karena tak diberi uang oleh orangtuanya untuk membeli voucher game online. Ia pun lalu masuk ke rumah tetangganya dan berniat mencuri uang di sana. Lantaran tidak mendapatkan uang, maka ia membakar kasur tetangganya itu hingga terjadilah kebakaran.

Masih banyak kasus yang didasari keinginan membeli voucher game online pada anak-anak. Pengalaman pribadi, saat saya meninggalkan sebentar sesi zoom siswa bimbel saya, siswa laki-laki malah keasyikan bertransaksi voucher game online satu sama lain.

Mereka seakan seperti orang dewasa yang sedang melakukan jual beli mobil atau motor. Tawar-menawar harga hingga deal dan mentransfer sejumlah uang lewat pulsa atau dompet digital. 

Ironisnya, salah seorang siswa bimbel saya bahkan berniat akan membeli voucher game online sebesar 500 ribu rupiah. Jumlah yang cukup banyak bagi anak-anak.

Sejak saat itu saya mengimbau -- tidak melarang -- agar aktivitas jual beli voucher game online dibatasi. Boleh membeli tapi jangan kelewatan. 

Sepuluh dua puluh ribu tak masalah asal jangan sampai lima ratus ribu sejuta. Itu pun tidak dilakukan dengan sering. Paling tidak sebulan satu kali top up seperti membeli pulsa. Entah saran saya ini bisa masuk atau tidak, yang jelas saat ini membatasi dengan bijak adalah cara terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun