Buntut dari lemahnya integritas Dinas Pendidikan Kota Malang tentu akan berdampak panjang. Banyak pihak yang akan skeptis jika ada kejadian serupa menimpa siswa di Kota Malang.
Meski hal ini sangat tidak diinginkan terjadi, tetapi namanya musibah siapa yang tahu. Yang terpenting adalah bagaimana manajemen krisis terhadap masalah perisakan ini agar ada efek jera terhadap pelakunya.Â
Dengan berat hati bisa dikatakan, integritas Dinas Pendidikan Kota Malang dalam melakukan manajemen krisis ini masih jauh panggang dari api.
Terlebih, pernyataan dari ibu Kadindik sangat berbeda 180 derajat dari apa yang didapatkan pihak kepolisian. Sungguh, ini masalah serius.
Kedua, dengan menurunnya integritas lembaga bersangkutan, maka akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pedidikan di Kota Malang.
Memang, kasus perisakan hanya terjadi di satu sekolah. Namun, dampaknya bisa dirasakan ke berbagai sekolah terutama SMP Negeri.
Siswa SMP yang bisa dikatakan sedang mengalami peralihan masa dari anak-anak ke remaja memang butuh perhatian ekstra. Nakalnya sangat berbeda dibandingkan siswa SD atau pun SMA.
Dengan adanya kasus perisakan yang tidak mendapatkan perhatian serius dari instansi pendidikan, akan timbul persepesi bahwa sekolah tidak lagi bisa dipercaya untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa.Â
Pernyataan ibu Kadindik yang menyebut perisakan hanya gurauan sudah memberikan efek psikologis bagi warga Malang, terutama orang tua yang memiliki anak di usia SMP. Bagaimana dengan nasib anak saya? Meski, apresiasi terhadap beberapa sekolah yang mulai serius dalam menangani kasus perisakan terutama semenjak adanya kasus ini patut diberikan.
Secara aturan, memang Kadindik hanya diberikan sanksi peringatan dan percobaan masa kerja. Namun, buntut pernyataannya yang sudah kadung tersebar luas dan memberikan efek buruk di dunia pendidikan ternyata dapat dijerat secara hukum.
Menurut pakar hukum Dr. Prija Djatmika, S.H. M.Si, sebenarnya Kadindik Malang bisa dijerat dengan pasal penyebaran berita bohong dalam KUHP. Sesuai pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, pelaku penyiaran berita bohong atau pemberitahuan bohong dan menerbitkan keonaran pada publik akan dihukum dengan maksimal sepuluh tahun penjara. Sesuai pasal ini pula, bagi siapapun yang dapat menerbitkan keonaran sedang ia mengetahui bahwa berita tersebut bohongm bisa dihukum maksimal tiga tahun penjara.